Jumat, 26 Desember 2014



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang

Sejarah Indonesia yang selama 350 tahun dijajah oleh bangsa Belanda memberikan dampak yang sangat mendalam. Namun demikian, disamping dampak buruk yang diberikan sebagai akibat dari penjajahan itu sendiri Belanda telah meninggalkan berbagai warisan budaya terhadap Indonesia termasuk dalam bidang hukum.
Sebagaimana kita ketahui dunia mengenal dua model sistem hukum yaitu sistem hukum anglo saxon atau disebut common law dan juga sistem hukum kontinental atau disebut civil law. Belanda adalah penganut dari model sistem hukum civil law dan hal tersebut diwariskan kepada negara jajahannya termasuk Indonesia. Salah satu hal yang paling mencolok dari penerapan model hukum tersebut di Indonesia adalah penggunaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diwariskan Belanda kepada Negara kita. KUHP tersebut masih digunakan hingga kini oleh Indonesia dalam menyelesaikan berbagai tindak Pidana yang terjadi.
Hingga saat ini, lembaga Legislatif Indonesia belum mampu untuk menciptakan pengganti KUHP tersebut. Akan tetapi beberapa produk undang-undang yang ada saat ini dan dibuat oleh negara kita sudah cukup banyak. Hal ini mengingat negara memang membutuhkan instrument hukum guna mengatur kehidupan warga negara yang sifatnya menyesuaikan dengan kondisi dan situasi terkini dari bangsa kita. Jika kita cermati selama periode 2009 saja telah banyak produk undang-undang yang disahkan dan diberlakukan di Indonesia sebagai hasil ciptaan lembaga Legislatif yang ada. Beberapa contoh dari produk undang-undang tersebut salah satu nya adalah UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini dibuat guna menggantikan UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dirasa sudah mulai tidak sesuai dan memerlukan pembenahan disana sini.Undang-undang mengenai Lingkungan hidup ini merupakan salah satu undang-undang yang pada awalnya mengadopsi ciri hukum Belanda. Pada awal mulanya,instrument hukum mengenai lingkungan hidup adalah UU Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dikeluarkannya produk hukum ini mengawali penggunaan modern law di Indonesia,karena memang sebelumnya Indonesia banyak menggunakan produk hukum Belanda yang dirasa belum melindungi Lingkungan Hidup secara utuh dan menyeluruh.
Kita menyadari sepenuhnya bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya pembangunan berkelanjutan harus didasarkan pada norma hukum dan dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat serta perkembangan lingkungan global. Karenanya, dalam rangka pelestarian lingkungan hidup yang ada pemerintah menyediakan sarana-sarana hukum yang bertujuan untuk mengatur dan mengelola lingkungan yang ada dan tentu saja harus dilaksanakan dan ditegakkan terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggarnya.
Penegakan hukum lingkungan hidup sendiri dapat dilaksanakan melalui tiga cara ,yaitu melalui hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana dimana masing-masing diikuti dengan sanksi administrasi, sanksi perdata dan tentu saja sanksi pidana Hal ini selaras dengan yang digunakan oleh pemerintah Belanda saat ini sebagaimana yang disampaikan oleh F.P.C.L. Tonnaer tentang penegakan hukum lingkungan di negeri Belanda dimana pelaksanaannya dibedakan menjadi tiga macam bentuk, yaitu administratief rechttelijke handhaving (penegakan hukum administrasi), straf rechtelijke handhaving (penegakan hukum pidana) dan privaat rechtelijke handhaving (penegakan hukum perdata)
Dalam penegakan hukum lingkungan dengan sarana hukum pidana atau pertanggung jawaban hukum pidana patut kiranya dikemukanan bahwa penggunaan sanksi hukum pidana sebagai sarana penanggulangan delik-delik lingkungan lebih bersifat subsidiar dan bukan primair. Pengenalan mengenai asas subsidiaritas sendiri sudah dilakukan dalam penanganan masalah lingkungan hidup sejak dikeluarkan UU Nomor 23 tahun 1997, hal ini terlihat jelas pada bagian penjelasan UU Nomor 23 tahun 1997 dimana asas subsidiaritas digunakan sebagai penunjang hukum administrasi dan kemudian diteruskan kembali melalui UU Nomor 32 tahun 2009.
Akan tetapi penerapan asas subsidiaritas pada UU Nomor 23 tahun 1997 meninggalkan banyak kendala pada pelaksanaannya dilapangan. Hal ini terjadi karena pada penerapan asas subsidiaritas di UU Nomor 23 tahun 1997 terdapat banyak rintangan-rintangan yang dapat dijadikan celah hukum bagi pelanggarnya, sehingga pada UU Nomor 32 tahun 2009, pemerintah menyempurnakannya melalui penerapan asas ultimum remedium yang terlihat jelas pada bagian penjelasan UU Nomor 32 tahun 2009 ini dimana dikatakan bahwa penerapan hukum pidana dilakukan sebagai bentuk upaya yang paling akhir setelah penerapan hukum administrasi dianggap tidak berhasil sehingga diharapkan pelaksanaanya dapat berjalan lebih baik dari UU Nomor 23 tahun 1997.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas, penulis membuat pokok permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana penerapan asas subsidiaritas pada sistem hukum kontinental?
2. Bagaimana penggunaan asas subsidiaritas di Indonesia dalam mensikapi lingkungan hidup?






BAB II
PEMBAHASAN
A.            Asas Subsidiaritas Dalam Model Hukum Kontinental
         Sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain tidak berhasil. Di negeri Belanda dalam rangka sanksi pidana untuk pelanggaran dibidang lingkungan telah dimasukkan pasal-pasal baru dalam Wetboek van Strafrecht (WVSr), yaitu pasal 173a dan 173b. Kedua pasal tersebut adalah mengenai ketentuan untuk melindungi manusia terhadap pencemaran berat lingkungan. Hukum pidana lingkungan (Milieustrafrecht) terdapat dalam WVSr dan dalam undang-undang khusus mengenai lingkungan dan yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah adanya berbagai kewajiban, seperti kewajiban mengukur (meetingsplicht), kewajiban mendaftarkan (regristratieplicht), dan kewajiban melapor (meldingsplicht). Dalam berbagai undang-undang mengenai hukum lingkungan,kewajiban tersebut dicantumkan dan jika tidak dilaksanakan maka akan dikenai sanksi pidana (waling,1990:3,6,36).
Penegakkan hukum administratif berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan oleh lembaga pemerintah. Dalam hubungan ini dapat kiranya disebutkan diantaranya penetapan dwangsom (uang paksaan) oleh “B.en W” (badan pemerintahan harian kotamadya). Sedangkan penegakan hukum perdata dikaitkan dengan tersedianya instrument yuridis oleh hukum perdata kepada seseorang untuk digunakan dalam rangka penegakan norma-norma hukum lingkungan. Dalam kaitannya dengan penegakan hukum baik itu hukum administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana.
Hukum di negeri Belanda sangat berhubungan dengan apa yang dikenal sebagai penyidikan (Koesnandi,1983:416). Kebijaksanaan penyidikan sendiri sangat terkait dengan pembentukan Interdepartementaal Overleg inzake de Handhaving van Miliudelicten (IOHM), yaitu lembaga interdepartemen yang bertugas untuk membicarakan bersama tentang penegakan delik lingkungan dengan tujuan untuk mengkoordinasikan penyidik delik lingkungan. Dalam penyidikan perlu dibedakan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah kunjungan ke perusahaan yang bersangkutan dengan pemberian informasi mengenai peraturan perundang-undangan serta kewajiban yang timbul dari peraturan tersebut. Apabila dalam tahap pertama ini diketahui telah terjadi pelanggaran,maka dalam tahap kedua diadakan kunjungan-kunjungan lanjutan dengan peringatan agar pelanggaran dihentikan. Apabila pelanggaran tersebut tetap dijalankan ,maka dalam tahap ketiga akan dilakukan tindakan berdasarkan hukum acara pidana (Tonnaer,1990:4009). Dasar penegakan hukum administratif merupakan landasan bagi munculnya asas ultimum remedium sebagai wujud penegakan hukum pidana manakala penerapan hukum administratif yang ada dipandang tidak efektif dan tidak dapat dilaksanakan maupun tidak berhasil diterapkan pada bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hukum lingkungan yang berlaku.
Siti Sundari Rangkuti telah meneliti masalah berbagai sanksi dalam hukum lingkungan dengan model hukum kontinental dan telah mengemukakan kesimpulannya sebagai berikut :
1. Bagian terbesar dari hukum lingkungan merupakan hukum administrasi negara , karena itu sanksi administratif sangat penting bagi keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup.
2. Hinder Ordonnatie (Stbl.1926 No 26) perlu segera diubah dengan memperhitung kan kepentingan ekologik demi pembangunan yang berwawasan lingkungan.
3. Gugatan ganti kerugian terhadap perusak atau pencemar lingkungan dapat diajukan kepengadilan negeri dengan berdasar pasal 1365 BW mengenai perbuatan melawan hukum, tetapi asas schuldaansprakelijkheid yang terkandung pada pasal tersebut merupakan penghambat bagi penggugat.
4. Sanksi Pidana bukan merupakan pemecahan utama dalam menanggulangi masalah pencemaran lingkungan ,tapi hanya merupakan ultimatum remedium.
5. Badan hukum keperdataan dapat dikenai sanksi pidana dalam perkara perusakan atau pencemaran lingkungan.
6. Sanksi hukum terhadap penguasa dalam fungsinya sebagai pengelola lingkungan adalah sanksi administratif, sedangkan sanksi pidana dapat dikenakan kepada penguasa yang bertindak sebagai pribadi terlepas dari tugas dan wewenangnya.
7. Peraturan perundang-undangan lingkungan (millieuwetgeving) dimasa mendatang hendaklan memuat dan memperhatikan prinsip-prinsip hukum lingkungan, (Rangkuti,1984:28-29).



B.           Penggunaan Asas Subsidiaritas di Indonesia Dalam Mensikapi Hukum Lingkungan
Hukum Lingkungan merupakan bidang ilmu yang masih muda dan perkembangannya baru terjadi pada dua dasawarsa akhir ini. Apabila dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek lingkungan, maka panjang atau pendeknya sejarah tentang peraturan tersebut tergantung dari apa yang dipandang sebagai environmental concern. Moenadjat sebagaimana dikutip oleh Siswanto Sunarso membedakan antara Hukum Lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan atau environment-oriented law dan Hukum Lingkungan klasik yang berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau use-oriented law. Hukum Lingkungan modern menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang. Sebaliknya, Hukum Lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin dan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.
Hukum Lingkungan modern berorientasi kepada lingkungan, sehingga sifat dan wataknya juga mengikuti sifat dan watak dari lingkungan itu sendiri dan dengan demikian lebih banyak berguru kepada ekologi. Dengan orientasi kepada lingkungan ini, maka Hukum Lingkungan modern memiliki sifat utuh menyeluruh atau komprehensif integral selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes sedang sebaliknya Hukum Lingkungan klasik bersifat sektoral serba kaku dan sukar berubah. Dilihat dari fungsinya, hukum lingkungan berisi kaidah-kaidah tentang perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungannya langsung atau tidak langsung.
 Secara langsung kepada masyarakat hukum lingkungan menyatakan apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan. Secara tidak langsung kepada warga masyarakat adalah memberikan landasan bagi yang berwenang untuk memberikan kaidah kepada masyarakat. Dengan demikian hukum lingkungan mempunyai dua dimensi, yang pertama adalah ketentuan tentang tingkah laku masyarakat semuanya bertujuan supaya anggota masyarakat dihimbau bahkan kalau perlu dipaksa memenuhi hukum lingkungan yang tujuannya memecahkan masalah lingkungan. Kedua adalah dimensi yang memberi hak, kewajiban dan wewenang badan-badan pemerintah dalam mengelola lingkungan.
Dalam ruang lingkup yang paling luas, hukum lingkungan menyangkut hukum internasional (publik dan privat) dan hukum nasional. Termasuk hukum lingkungan internasional adalah perjanjian bilateral antar negara, perjanjian regional karena semuanya adalah sumber hukum yang supranasional. Pencemaran dan perusakan lingkungan tidak hanya menjadi masalah nasional, tetapi telah menjadi masalah antar negara, regional dan global. Dunia semakin sempit, hubungan antar negara bertambah dekat dan makin tergantung satu sama lain. Pencemaran pun semakin luas, kadang-kadang melintasi batas-batas negara dalam bentuk pencemaran air sungai, emisi udara, kebakaran hutan, pencemaran minyak di laut dan seterusnya.
Dalam ruang nasional, hukum lingkungan menempati titik silang pelbagai bagian hukum klasik, yaitu hukum publik dan privat. Termasuk hukum publik adalah hukum pidana, hukum pemerintahan (administratif), hukum pajak, hukum tata negara, bahkan hukum agraria pun berkaitan dengan hukum lingkungan. Kaitannya dengan UUD 1945 dan hukum tata negara, dapat ditunjuk Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ketentuan ini telah dijabarkan ke dalam Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, bahkan telah ditambah de¬ngan dimensi baru, yaitu ruang angkasa, di samping bumi dan air. Dengan demikian, pemberian hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan lain-lain harus juga memperhatikan kepentingan lingkungan. Kalau tanah itu dirusak atau dipergunakan yang mengakibatkan pencemaran atau rusaknya lingkungan hidup, hak itu dapat dicabut. Kaitannya dengan hukum perdata dalam hak dan kewajiban, pertanggungjawaban, ganti kerugian, perbuatan melanggar hukum dan hukum kontrak.  Erwin Usman dan Arimbi HP dalam bukunya yang berjudul “199 Lexicon Hukum Lingkungan” menyatakan bahwa asas subsidiaritas pidana adalah pendayagunaan hukum pidana apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat luas.
Hal tersebut di atas adalah sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas, yaitu hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat luas.
Asas subsidiaritas pidana atau juga disebut asas ultimum remedium pada intinya menempatkan sarana hukum pidana sebagai obat terakhir. Penempatan pidana sebagai sarana terakhir disebabkan dari sifat pidana itu sendiri yaitu sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Pidana merupakan karakter yang membedakan hukum pidana dari bidang hukum lainnya dalam hal pemberian sanksi kepada pelanggar normanya. Sanksi dalam hukum pidana tersebut adalah sanksi negatif, oleh karena itu dikatakan bahwa hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif. Di samping itu mengingat sifat dari pidana itu yang hendaknya baru diterapkan apabila sarana (upaya) lain sudah tidak memadai, maka dikatakan pula bahwa hukum pidana mempunyai fungsi yang subsidiar. Pidana tidak hanya tidak enak dirasa pada waktu dijalani tetapi sesudah itu orang yang dikenai itu masih merasakan akibatnya yang berupa “cap” oleh masyarakat bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap tersebut dalam ilmu pengetahuan disebut “stigma”. Jadi orang tersebut mendapat stigma jahat dan hal ini apabila tidak bisa hilang, maka ia seolah-olah dipidana seumur hidup.
Sifat pidana sebagai “ultimum remedium” (obat yang terakhir) menghendaki apabila tidak perlu sekali hendaknya jangan menggunakan pidana sebagai sarana. Oleh karena itu peraturan pidana yang mengancam pidana terhadap sesuatu perbuatan hendaknya dicabut apabila tidak ada manfaatnya. Proses pencabutan ini merupakan persoalan dekriminalisasi, yakni suatu proses dimana dihilangkan sama sekali sifat dapat dipidananya suatu perbuatan. Asas subsidiaritas pidana dalam hukum lingkungan terlihat dari ketergantungan hukum pidana pada hukum administrasi terutama dalam hal perizinan. Sebagaimana diketahui bahwa yang berwenang mengeluarkan izin adalah pejabat administrasi baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Adapun penempatan sanksi pidana pada umumnya terdapat pada bagian intinya yaitu “karena tanpa izin”, yang sudah jelas semuanya menunjukkan bahwa hukum pidana lingkungan banyak tergantung pada hukum administratif.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Adapun yang dapat penulis ambil sebagai kesimpulan dalam makalah ini adalah :
1.  Penerapan hukum lingkungan melalui asas subsidaritas yang berlaku di Indonesia sejak dahulu telah mengalami beberapa kali perubahan dengan alasan menyesuaikan terhadap perubahan masyarakat dari waktu ke waktu adalah untuk penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang ada.
2.  Penerapan asas subsidiaritas adalah untuk penerapan penegakan hukum pidana dilakukan sebagai upaya terakhir setelah penerapan hukum administratif bila dianggap tidak berhasil.
B. Saran
1.  Agar hukum lingkungan kita berjalan sesuai dengan sebagaimana yang di harapkan, maka hendaknya kita menyadari akan asas-asas hukum sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat.
2.  Hendaknya asas subsidaritas diprioritaskan untuk menangani kasus pidana tentang pelanggaran terhadap lingkungan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar