BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah Indonesia
yang selama 350 tahun dijajah oleh bangsa Belanda memberikan dampak yang sangat
mendalam. Namun demikian, disamping dampak buruk yang diberikan sebagai akibat
dari penjajahan itu sendiri Belanda telah meninggalkan berbagai warisan budaya
terhadap Indonesia termasuk dalam bidang hukum.
Sebagaimana kita
ketahui dunia mengenal dua model sistem hukum yaitu sistem hukum anglo saxon
atau disebut common law dan juga sistem hukum kontinental atau
disebut civil law. Belanda adalah penganut dari model sistem hukum civil
law dan hal tersebut diwariskan kepada negara jajahannya termasuk
Indonesia. Salah satu hal yang paling mencolok dari penerapan model hukum
tersebut di Indonesia adalah penggunaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
diwariskan Belanda kepada Negara kita. KUHP tersebut masih digunakan hingga
kini oleh Indonesia dalam menyelesaikan berbagai tindak Pidana yang terjadi.
Hingga saat ini, lembaga
Legislatif Indonesia belum mampu untuk menciptakan pengganti KUHP tersebut. Akan
tetapi beberapa produk undang-undang yang ada saat ini dan dibuat oleh negara
kita sudah cukup banyak. Hal ini mengingat negara memang membutuhkan instrument
hukum guna mengatur kehidupan warga negara yang sifatnya menyesuaikan dengan
kondisi dan situasi terkini dari bangsa kita. Jika kita cermati selama periode
2009 saja telah banyak produk undang-undang yang disahkan dan diberlakukan di
Indonesia sebagai hasil ciptaan lembaga Legislatif yang ada. Beberapa contoh
dari produk undang-undang tersebut salah satu nya adalah UU Nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini dibuat
guna menggantikan UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang dirasa sudah mulai tidak sesuai dan memerlukan pembenahan disana
sini.Undang-undang mengenai Lingkungan hidup ini merupakan salah satu
undang-undang yang pada awalnya mengadopsi ciri hukum Belanda. Pada awal
mulanya,instrument hukum mengenai lingkungan hidup adalah UU Nomor 4 tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dikeluarkannya
produk hukum ini mengawali penggunaan modern law di Indonesia,karena memang
sebelumnya Indonesia banyak menggunakan produk hukum Belanda yang dirasa belum
melindungi Lingkungan Hidup secara utuh dan menyeluruh.
Kita menyadari
sepenuhnya bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya
pembangunan berkelanjutan harus didasarkan pada norma hukum dan dengan
memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat serta perkembangan lingkungan
global. Karenanya, dalam rangka pelestarian lingkungan hidup yang ada pemerintah
menyediakan sarana-sarana hukum yang bertujuan untuk mengatur dan mengelola
lingkungan yang ada dan tentu saja harus dilaksanakan dan ditegakkan terhadap
perbuatan-perbuatan yang melanggarnya.
Penegakan hukum
lingkungan hidup sendiri dapat dilaksanakan melalui tiga cara ,yaitu melalui
hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana dimana masing-masing diikuti
dengan sanksi administrasi, sanksi perdata dan tentu saja sanksi pidana Hal ini
selaras dengan yang digunakan oleh pemerintah Belanda saat ini sebagaimana yang
disampaikan oleh F.P.C.L. Tonnaer tentang penegakan hukum lingkungan di negeri
Belanda dimana pelaksanaannya dibedakan menjadi tiga macam bentuk, yaitu administratief
rechttelijke handhaving (penegakan hukum administrasi), straf
rechtelijke handhaving (penegakan hukum pidana) dan privaat rechtelijke
handhaving (penegakan hukum perdata)
Dalam penegakan
hukum lingkungan dengan sarana hukum pidana atau pertanggung jawaban hukum
pidana patut kiranya dikemukanan bahwa penggunaan sanksi hukum pidana sebagai
sarana penanggulangan delik-delik lingkungan lebih bersifat subsidiar dan bukan
primair. Pengenalan mengenai asas subsidiaritas sendiri sudah dilakukan dalam
penanganan masalah lingkungan hidup sejak dikeluarkan UU Nomor 23 tahun 1997, hal
ini terlihat jelas pada bagian penjelasan UU Nomor 23 tahun 1997 dimana asas
subsidiaritas digunakan sebagai penunjang hukum administrasi dan kemudian
diteruskan kembali melalui UU Nomor 32 tahun 2009.
Akan tetapi
penerapan asas subsidiaritas pada UU Nomor 23 tahun 1997 meninggalkan banyak
kendala pada pelaksanaannya dilapangan. Hal ini terjadi karena pada penerapan
asas subsidiaritas di UU Nomor 23 tahun 1997 terdapat banyak
rintangan-rintangan yang dapat dijadikan celah hukum bagi pelanggarnya,
sehingga pada UU Nomor 32 tahun 2009, pemerintah menyempurnakannya melalui
penerapan asas ultimum remedium yang terlihat jelas pada bagian penjelasan UU
Nomor 32 tahun 2009 ini dimana dikatakan bahwa penerapan hukum pidana dilakukan
sebagai bentuk upaya yang paling akhir setelah penerapan hukum administrasi
dianggap tidak berhasil sehingga diharapkan pelaksanaanya dapat berjalan lebih
baik dari UU Nomor 23 tahun 1997.
B. Perumusan
Masalah
Dari uraian di atas,
penulis membuat pokok permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini, yaitu
:
1.
Bagaimana penerapan asas subsidiaritas pada sistem hukum kontinental?
2. Bagaimana
penggunaan asas subsidiaritas di Indonesia dalam mensikapi lingkungan hidup?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asas Subsidiaritas Dalam Model Hukum
Kontinental
Sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain tidak berhasil. Di negeri Belanda dalam rangka sanksi pidana untuk pelanggaran dibidang lingkungan telah dimasukkan pasal-pasal baru dalam Wetboek van Strafrecht (WVSr), yaitu pasal 173a dan 173b. Kedua pasal tersebut adalah mengenai ketentuan untuk melindungi manusia terhadap pencemaran berat lingkungan. Hukum pidana lingkungan (Milieustrafrecht) terdapat dalam WVSr dan dalam undang-undang khusus mengenai lingkungan dan yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah adanya berbagai kewajiban, seperti kewajiban mengukur (meetingsplicht), kewajiban mendaftarkan (regristratieplicht), dan kewajiban melapor (meldingsplicht). Dalam berbagai undang-undang mengenai hukum lingkungan,kewajiban tersebut dicantumkan dan jika tidak dilaksanakan maka akan dikenai sanksi pidana (waling,1990:3,6,36).
Sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain tidak berhasil. Di negeri Belanda dalam rangka sanksi pidana untuk pelanggaran dibidang lingkungan telah dimasukkan pasal-pasal baru dalam Wetboek van Strafrecht (WVSr), yaitu pasal 173a dan 173b. Kedua pasal tersebut adalah mengenai ketentuan untuk melindungi manusia terhadap pencemaran berat lingkungan. Hukum pidana lingkungan (Milieustrafrecht) terdapat dalam WVSr dan dalam undang-undang khusus mengenai lingkungan dan yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah adanya berbagai kewajiban, seperti kewajiban mengukur (meetingsplicht), kewajiban mendaftarkan (regristratieplicht), dan kewajiban melapor (meldingsplicht). Dalam berbagai undang-undang mengenai hukum lingkungan,kewajiban tersebut dicantumkan dan jika tidak dilaksanakan maka akan dikenai sanksi pidana (waling,1990:3,6,36).
Penegakkan hukum
administratif berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan oleh lembaga
pemerintah. Dalam hubungan ini dapat kiranya disebutkan diantaranya penetapan dwangsom
(uang paksaan) oleh “B.en W” (badan pemerintahan harian kotamadya). Sedangkan
penegakan hukum perdata dikaitkan dengan tersedianya instrument yuridis oleh
hukum perdata kepada seseorang untuk digunakan dalam rangka penegakan
norma-norma hukum lingkungan. Dalam kaitannya dengan penegakan hukum baik itu
hukum administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana.
Hukum di negeri
Belanda sangat berhubungan dengan apa yang dikenal sebagai penyidikan
(Koesnandi,1983:416). Kebijaksanaan penyidikan sendiri sangat terkait dengan
pembentukan Interdepartementaal Overleg inzake de Handhaving van Miliudelicten
(IOHM), yaitu lembaga interdepartemen yang bertugas untuk membicarakan bersama
tentang penegakan delik lingkungan dengan tujuan untuk mengkoordinasikan
penyidik delik lingkungan. Dalam penyidikan perlu dibedakan dalam tiga tahap. Tahap
pertama adalah kunjungan ke perusahaan yang bersangkutan dengan pemberian
informasi mengenai peraturan perundang-undangan serta kewajiban yang timbul
dari peraturan tersebut. Apabila dalam tahap pertama ini diketahui telah
terjadi pelanggaran,maka dalam tahap kedua diadakan kunjungan-kunjungan
lanjutan dengan peringatan agar pelanggaran dihentikan. Apabila pelanggaran
tersebut tetap dijalankan ,maka dalam tahap ketiga akan dilakukan tindakan
berdasarkan hukum acara pidana (Tonnaer,1990:4009). Dasar penegakan hukum
administratif merupakan landasan bagi munculnya asas ultimum remedium sebagai
wujud penegakan hukum pidana manakala penerapan hukum administratif yang ada
dipandang tidak efektif dan tidak dapat dilaksanakan maupun tidak berhasil
diterapkan pada bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hukum lingkungan yang
berlaku.
Siti Sundari
Rangkuti telah meneliti masalah berbagai sanksi dalam hukum lingkungan dengan
model hukum kontinental dan telah mengemukakan kesimpulannya sebagai berikut :
1.
Bagian terbesar dari hukum lingkungan merupakan hukum administrasi negara ,
karena itu sanksi administratif sangat penting bagi keberhasilan pengelolaan
lingkungan hidup.
2.
Hinder Ordonnatie (Stbl.1926 No 26) perlu segera diubah dengan memperhitung kan
kepentingan ekologik demi pembangunan yang berwawasan lingkungan.
3.
Gugatan ganti kerugian terhadap perusak atau pencemar lingkungan dapat diajukan
kepengadilan negeri dengan berdasar pasal 1365 BW mengenai perbuatan melawan
hukum, tetapi asas schuldaansprakelijkheid yang terkandung pada pasal tersebut
merupakan penghambat bagi penggugat.
4.
Sanksi Pidana bukan merupakan pemecahan utama dalam menanggulangi masalah
pencemaran lingkungan ,tapi hanya merupakan ultimatum remedium.
5. Badan
hukum keperdataan dapat dikenai sanksi pidana dalam perkara perusakan atau
pencemaran lingkungan.
6.
Sanksi hukum terhadap penguasa dalam fungsinya sebagai pengelola lingkungan
adalah sanksi administratif, sedangkan sanksi pidana dapat dikenakan kepada
penguasa yang bertindak sebagai pribadi terlepas dari tugas dan wewenangnya.
7.
Peraturan perundang-undangan lingkungan (millieuwetgeving) dimasa
mendatang hendaklan memuat dan memperhatikan prinsip-prinsip hukum lingkungan, (Rangkuti,1984:28-29).
B.
Penggunaan Asas Subsidiaritas
di Indonesia Dalam Mensikapi Hukum Lingkungan
Hukum Lingkungan
merupakan bidang ilmu yang masih muda dan perkembangannya baru terjadi pada dua
dasawarsa akhir ini. Apabila dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang
mengatur berbagai aspek lingkungan, maka panjang atau pendeknya sejarah tentang
peraturan tersebut tergantung dari apa yang dipandang sebagai environmental
concern. Moenadjat sebagaimana dikutip oleh Siswanto Sunarso membedakan
antara Hukum Lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan atau environment-oriented
law dan Hukum Lingkungan klasik yang berorientasi kepada penggunaan
lingkungan atau use-oriented law. Hukum Lingkungan modern menetapkan
ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan
untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk
menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus menerus digunakan oleh
generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang. Sebaliknya, Hukum
Lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama
sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan
dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal
mungkin dan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.
Hukum Lingkungan
modern berorientasi kepada lingkungan, sehingga sifat dan wataknya juga
mengikuti sifat dan watak dari lingkungan itu sendiri dan dengan demikian lebih
banyak berguru kepada ekologi. Dengan orientasi kepada lingkungan ini, maka
Hukum Lingkungan modern memiliki sifat utuh menyeluruh atau komprehensif
integral selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes
sedang sebaliknya Hukum Lingkungan klasik bersifat sektoral serba kaku dan
sukar berubah. Dilihat dari fungsinya, hukum lingkungan berisi kaidah-kaidah
tentang perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungannya langsung atau
tidak langsung.
Secara langsung kepada masyarakat hukum
lingkungan menyatakan apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan. Secara
tidak langsung kepada warga masyarakat adalah memberikan landasan bagi yang
berwenang untuk memberikan kaidah kepada masyarakat. Dengan demikian hukum
lingkungan mempunyai dua dimensi, yang pertama adalah ketentuan tentang tingkah
laku masyarakat semuanya bertujuan supaya anggota masyarakat dihimbau bahkan
kalau perlu dipaksa memenuhi hukum lingkungan yang tujuannya memecahkan masalah
lingkungan. Kedua adalah dimensi yang memberi hak, kewajiban dan wewenang
badan-badan pemerintah dalam mengelola lingkungan.
Dalam ruang lingkup
yang paling luas, hukum lingkungan menyangkut hukum internasional (publik dan
privat) dan hukum nasional. Termasuk hukum lingkungan internasional adalah
perjanjian bilateral antar negara, perjanjian regional karena semuanya adalah
sumber hukum yang supranasional. Pencemaran dan perusakan lingkungan tidak
hanya menjadi masalah nasional, tetapi telah menjadi masalah antar negara,
regional dan global. Dunia semakin sempit, hubungan antar negara bertambah
dekat dan makin tergantung satu sama lain. Pencemaran pun semakin luas,
kadang-kadang melintasi batas-batas negara dalam bentuk pencemaran air sungai,
emisi udara, kebakaran hutan, pencemaran minyak di laut dan seterusnya.
Dalam ruang
nasional, hukum lingkungan menempati titik silang pelbagai bagian hukum klasik,
yaitu hukum publik dan privat. Termasuk hukum publik adalah hukum pidana, hukum
pemerintahan (administratif), hukum pajak, hukum tata negara, bahkan hukum
agraria pun berkaitan dengan hukum lingkungan. Kaitannya dengan UUD 1945 dan
hukum tata negara, dapat ditunjuk Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ketentuan ini
telah dijabarkan ke dalam Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, bahkan telah
ditambah de¬ngan dimensi baru, yaitu ruang angkasa, di samping bumi dan air.
Dengan demikian, pemberian hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak
pakai dan lain-lain harus juga memperhatikan kepentingan lingkungan. Kalau
tanah itu dirusak atau dipergunakan yang mengakibatkan pencemaran atau rusaknya
lingkungan hidup, hak itu dapat dicabut. Kaitannya dengan hukum perdata dalam
hak dan kewajiban, pertanggungjawaban, ganti kerugian, perbuatan melanggar
hukum dan hukum kontrak. Erwin Usman dan
Arimbi HP dalam bukunya yang berjudul “199 Lexicon Hukum Lingkungan” menyatakan
bahwa asas subsidiaritas pidana adalah pendayagunaan hukum pidana apabila
sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata dan
alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau
tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau perbuatannya menimbulkan
keresahan masyarakat luas.
Hal tersebut di atas
adalah sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 yang menyatakan bahwa sebagai penunjang hukum administrasi,
berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas, yaitu
hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti
sanksi administrasi dan sanksi perdata dan alternatif penyelesaian sengketa
lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat
dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat luas.
Asas subsidiaritas
pidana atau juga disebut asas ultimum remedium pada intinya menempatkan sarana
hukum pidana sebagai obat terakhir. Penempatan pidana sebagai sarana terakhir
disebabkan dari sifat pidana itu sendiri yaitu sebagai penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu. Pidana merupakan karakter yang membedakan hukum pidana dari bidang
hukum lainnya dalam hal pemberian sanksi kepada pelanggar normanya. Sanksi
dalam hukum pidana tersebut adalah sanksi negatif, oleh karena itu dikatakan
bahwa hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif. Di samping itu mengingat
sifat dari pidana itu yang hendaknya baru diterapkan apabila sarana (upaya)
lain sudah tidak memadai, maka dikatakan pula bahwa hukum pidana mempunyai
fungsi yang subsidiar. Pidana tidak hanya tidak enak dirasa pada waktu dijalani
tetapi sesudah itu orang yang dikenai itu masih merasakan akibatnya yang berupa
“cap” oleh masyarakat bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap tersebut dalam ilmu
pengetahuan disebut “stigma”. Jadi orang tersebut mendapat stigma jahat dan hal
ini apabila tidak bisa hilang, maka ia seolah-olah dipidana seumur hidup.
Sifat pidana sebagai
“ultimum remedium” (obat yang terakhir) menghendaki apabila tidak perlu
sekali hendaknya jangan menggunakan pidana sebagai sarana. Oleh karena itu
peraturan pidana yang mengancam pidana terhadap sesuatu perbuatan hendaknya
dicabut apabila tidak ada manfaatnya. Proses pencabutan ini merupakan persoalan
dekriminalisasi, yakni suatu proses dimana dihilangkan sama sekali sifat dapat
dipidananya suatu perbuatan. Asas subsidiaritas pidana dalam hukum lingkungan
terlihat dari ketergantungan hukum pidana pada hukum administrasi terutama
dalam hal perizinan. Sebagaimana diketahui bahwa yang berwenang mengeluarkan
izin adalah pejabat administrasi baik pemerintah daerah maupun pemerintah
pusat. Adapun penempatan sanksi pidana pada umumnya terdapat pada bagian
intinya yaitu “karena tanpa izin”, yang sudah jelas semuanya menunjukkan bahwa
hukum pidana lingkungan banyak tergantung pada hukum administratif.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Adapun yang dapat
penulis ambil sebagai kesimpulan dalam makalah ini adalah :
1. Penerapan
hukum lingkungan melalui asas subsidaritas yang berlaku di Indonesia sejak
dahulu telah mengalami beberapa kali perubahan dengan alasan menyesuaikan
terhadap perubahan masyarakat dari waktu ke waktu adalah untuk penyempurnaan
peraturan perundang-undangan yang ada.
2. Penerapan
asas subsidiaritas adalah untuk penerapan penegakan hukum pidana dilakukan
sebagai upaya terakhir setelah penerapan hukum administratif bila dianggap
tidak berhasil.
B. Saran
1. Agar
hukum lingkungan kita berjalan sesuai dengan sebagaimana yang di harapkan, maka
hendaknya kita menyadari akan asas-asas hukum sehingga dapat bermanfaat bagi
masyarakat.
2. Hendaknya
asas subsidaritas diprioritaskan untuk menangani kasus pidana tentang
pelanggaran terhadap lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar