Potret Hukum Di Indonesia
(Antara Froblemantika dan Solusi)
Oleh : Amrunsyah,
S. Ag,.M.H
A. PENDAHULUAN
Buruk muka
cermin terbelah, begitulah kata pribahasa. Untuk mengkaji tentang hukum yang
berlaku saat ini di Indonesia tidak mudah sebagaimana membalikkan telapak
tangan. Karena kondisi hukum di Indonesia menunjukan keprihatinan yang
mendalam. Banyak istilah yang diberikan kepada peraturan hukumnya, penegak
hukumnya, lembaga hukumnya dan hampir rata-rata masyarakat mencibir
keberadaannya. Hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Namun, apakah
salah hukum itu? Padahal di terapkannya hukum itu adalah untuk memberikan
keadilan dan menurut Satjipto Raharjo (Guru Besar Sosiologi Hukum UNDIP) “Bahwa
tujuan akhir bernegara hukum adalah untuk menjadikan kehidupan rakyat dan
bangsa ini bahagia,”
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, bahkan Presiden SBY
mengajak rakyat untuk menjadikan hukum sebagai panglima. Namun ini hanya
sebatas kata-kata dan di awal tahun 2014, karena dengan mata telanjang
masyarakat secara nyata menyaksikan dan di mana-mana mengatakan bahwa hukum
hanya sebagai lips servis untuk di jadikan alat penguasa bahkan semua institusi
penegak hukum mendapat sorotan yang tajam. Dari kepolisian didengar banyaknya
kasus penganiayaan dan pemerasan terhadap tersangka yang dilakukan oknum Polisi
pada saat proses penyidikan, oknum jaksa dan oknum hakim di tangkap KPK karena
menerima suap ditambah lagi pejabat-pejabat bejat baik yang duduk di eksekutif
maupun yang duduk di legeslatif tersangkut masalah hukum, terutama tindak
pidana korupsi.
.Uraian di atas menunjukkan betapa
rusaknya sistem hukum di Indonesia. Keprihatinan yang mendalam tentunya melihat
reformasi hukum yang masih berjalan lambat dan belum memberikan rasa keadilan
dan kesejahteraan bagi masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa
pada dasarnya apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan
yang dipersepsi masyarakat (the absence of justice). Ketiadaan
keadilan hukum sehingga tidak dapat memberikan kesejahtraan bagi rakyat
merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law),
ketidak hormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidak
percayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya
penyalahgunaan hukum (misuse of the law).
Cita-cita
reformasi untuk mendudukan hukum di tempat tertinggi (supremacy of law) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara hingga detik ini tak pernah terrealisasi.
Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan-angan. Dan kalaupun hukum
ditegakkan maka penegakannya diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam
proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang
diskriminatif, jual beli putusan hakim, atau kolusi polisi, hakim, advokat dan
jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang
dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan
hukum yang “kumuh” seperti itu menjadikan hukum
di negeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar
yunani plato (427-347 s.m) yang menyatakan bahwa hukum adalah jaring laba-laba
yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya
dan kuat. Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum
dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang
(politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum
juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum
semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan
dengan cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri di
masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum
yang ada. Menurut lawrence meir friedman di dalam suatu sistem hukum terdapat
tiga unsur yaitu struktur , substansi , dan kultur hukum dalam konteks
indonesia, reformasi terhadap ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh
friedman tersebut sangat mutlak untuk dilakukan.
Terkait
dengan struktur sistem hukum, perlu dilakukan penataan terhadap intitusi hukum
yang ada seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi
advokat. Selain itu perlu juga dilakukan penataan terhadap institusi yang
berfungsi melakukan pengawasan terhadap lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera diperbaiki
terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah birokrasi dan
administrasi lembaga penegak hukum. Memang benar apa yang dikemukan oleh max
weber (1864-1920) bahwa salah satu ciri dari hukum modern adalah hukum yang
sangat birokratis. Namun, birokrasi yang ada harus
respon terhadap realitas sosial masyarakat sehingga dapat melayani masyarakat
pencari keadilan dengan baik. Dalam hal substansi sistem hukum perlu segera
diperbaiki berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang menunjang proses penegakan hukum di Indinesia
B. PEMBAHASAN
Setelah melihat kondisi hukum yang terpuruk tersebut, maka tidak ada kata
lain selain terus mengedepankan reformasi hukum yang telah digagas oleh bangsa
ini. Kegiatan reformasi hukum perlu dilakukan dalam rangka mencapai supremasi
hukum yang berkeadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat bukan bagi penguas
dan pejabat tinggi negara. Beberapa konsep yang perlu diwujudkan antara lain :
Menurut
Lawrence Fridman reformasi hukum harus menyentuh tiga komponen hukum, yaitu :
1. Struktur Hukum,
dalam pengertian bahwa struktur hukum merupakan pranata hukum yang menopang
sistem hukum itu sendiri, yang terdiri atas bentuk hukum, lembaga-lembaga
hukum, perangkat hukum, dan proses serta kinerja mereka.
2.
Substansi Hukum, dimana merupakan isi dari
hukum itu sendiri, artinya isi hukum tersebut harus merupakan sesuatu yang
bertujuan untukmenciptakan keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat.
3.
Budaya Hukum, hal ini terkait dengan
profesionalisme para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, dan tentunya
kesadaran masyarakat dalam menaati hukum itu sendiri.
Mereformasi hukum yang belaku di
Indonesia tidak mudah seperti membalikan telapak tangan. Mengingat pemberlakuan
hukumnya sudah mendarah daging di penegak hukum dan lembaga hukum itu sendiri.
Namun usaha perbaikan demi tercapaikannya keadilan merupakan kewajiban yang
harus terus dilaksanakan sampai sistem hukum di negeri ini dapat memberikan
makna sesuai dengan tujuan dari hukum itu di berlakukan.
Sementara menurut Prema
Cintya Virayasti Gusti Ayu setidaknya terdapat tujuh faktor
penghambat penegakan hukum di Indonesia, ketujuh faktor tersebut adalah :
1. Lemahnya
political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi
hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain,
supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang
didengung-dengungkan pada saat kampanye.
2. Peraturan
perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan
politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat.
3. Rendahnya
integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat
penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum.
4. Minimnya sarana
dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum.
5. Tingkat
kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek
terhadap hukum.
6. Paradigma
penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya
keadilan formal (formal justice) daripada
keadilan substansial (substantial
justice).
7. kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak
terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat
parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis. Mencermati berbagai
problem yang menghambat proses penegakan hukum sebagaimana diuraikan di atas.
Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat ini
sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan dan
penataan terhadap sistem hukum yang ada. Sebagai masyarakat Indonesia, negeri
ini butuh penegakkan hokum yang adil dan tegas. Tidak ada diskriminasi dalam
penegakkanya, masyarakat Indonesia begitu haus dengan penegakkan hukum yang
adil.
Pada sisi lain Widiya Ayu Rekti mengungkapkan ada empat hal yang menjadi penyebab
kebobrokan hukum di Indonesia, diantaranya :
1.
Landasan Hukum
Sistem hukum dan peradilan di
Indonesia sangat dipengaruhi dan dilandasi oleh sistem hukum dan peradilan
Barat yang sekular, yakni bersamaan dengan kemunculan sistem demokrasi pada
abad gelap pertengahan’ (the dark middle age) yang memberikan kebebasan kepada
rakyat untuk menetapkan hukum tanpa terikat oleh ajaran agama (Kristen). Sumber
pokok Hukum Perdata di Indonesia (Burgerlijk Wetboek) berasal dari hukum
perdata Perancis, yaitu Code Napoleon (1811-1838), yang karena pendudukan
Perancis di Belanda berlaku di juga negeri Belanda (1838). Sementara di
Indonesia, mulai berlaku sejak 1 Mei 1848 bersamaan dengan penjajahan Belanda.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP atau Wetboek
van Strafrecht yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1918 setelah sebelumnya
diberlakukan tahun 1873 juga merupakan copy dari KUHP untuk golongan Eropa
(1867) dan KUHP untuk golongan Eropa juga merupakan copy dari Code Penal, yaitu
Hukum Pidana di Perancis zaman Napoleon (1811). Begitu juga dengan hukum acara
perdata dan pidana yang juga berasal dari Barat, walaupun dengan penyesuaian.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa
sistem hukum dan peradilan di Indonesia merupakan produk Barat Sekular yang
mengesampingkan Al-Khaliq sebagai pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan
ini. Sehingga dapat dipastikan produk hukum yang dikeluarkan pasti tidak akan
sempurna dan memiliki banyak kelemahan. Padahal
bisa saja menggali dari potensi budaya masyarakat indonesia yang beragam adat
dan budaya.
2.
Materi dan Sanksi Hukum
Penyebab kebobrokan berikutnya
adalah materi hukum sebagai konsekuensi dari sumber hukum yang sekular.
Setidaknya tercermin dalam beberapa hal berikut :
a. Materi dan
Sanksi Hukum Tidak Lengkap
Ketidaklengkapan mengatur semua hal,
bukan hanya akan menimbulkan kekacauan, akan tetapi akan memicu tindak
kejahatan yang lain dan memiliki dampak yang luas. Sebagai contoh, dalam KUHP
Pasal 284, yang termasuk dalam kategori perzinahan (persetubuhan di luar nikah)
yang dikenakan sanksi hanyalah pria dan atau wanita yang telah menikah, itupun
jika ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. Jika yang berzinah salah
satu atau keduanya belum menikah dan dilakukan atas dasar suka-sama suka, maka
tidak dikenakan sanksi. Saat ini fenomena seks bebas di kalangan remaja (kumpul
kebo), lalu hamil di luar nikah dan berujung pengguguran kandungan (aborsi),
diduga kuat karena tidak adanya sanksi atas mereka. Contoh lain, tidak adanya aturan tentang pergaulan laki-laki
dan perempuan termasuk batasan aurat, sehingga berdampak pelecehan terhadap
perempuan. Tidak adanya hukuman bagi peminum khamr yang menyebabkan rusaknya
akal masyarakat dan memicu tindak kriminal, tidak ada sanksi bagi yang murtad,
sehingga agama mudah dilecehkan, dan banyak lagi permasalahan masyarakat yang
tidak diatur sehingga berpotensi rusaknya individu dan masyarakat.
b. Sanksi Hukum
Tidak Menimbulkan Efek Jera
Salah satu tujuan diterapkannya
sanksi bagi pelaku kejahatan, agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Untuk itu, seharusnya pelaku dihukum dengan sanksi yang membuat jera. Sebagai
contoh, pembunuhan yang disengaja (Pasal 338 KUHP) hanya dikenakan sanksi
paling lama penjara 15 tahun, Pencurian (Pasal 362 KUHP) hanya dikenakan sanksi
penjara paling lama 5 tahun. Hubungan badan (perzinahan) sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 284 KUHP, hanya dikenakan sanksi paling lama 9 bulan
penjara.
Sanksi yang tidak menimbulkan efek jera sebagaimana contoh diatas alih-alih menekan angka kejahatan, yang terjadi malah jumlah penjahat dan residivis terus meningkat yang berakibat pemerintah kewalahan untuk membiayai makan para napi/tahanan.
Sanksi yang tidak menimbulkan efek jera sebagaimana contoh diatas alih-alih menekan angka kejahatan, yang terjadi malah jumlah penjahat dan residivis terus meningkat yang berakibat pemerintah kewalahan untuk membiayai makan para napi/tahanan.
Hal tersebut tentunya juga diperkuat
dengan sistem pemidanaan penjara yang justru memberi peluang terpidana
mengulangi kejahatan yang pernah dilakukan. Di penjara, terpidana bukan hanya
dapat bebas ’belajar’ trik melakukan kejahatan yang lebih besar, bahkan
disinyalir saat ini penjara malah menjadi tempat yang nyaman melakukan
pelecehan seksual, seperti kasus sodomi dan lesbi, kasus pemerasan, dan kasus
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Kasus-kasus kejahatan itu tidak
hanya terjadi di antara narapidana, tetapi juga bisa dengan pihak lain, seperti
pegawai LP atau pengunjung.
c. Hukum Hanya
Mementingkan Kepastian Hukum dan Mengabaikan
Keadilan.
Keadilan.
Sistem hukum di Indonesia
mengharuskan bahwa hukum harus menjamin kepastian hukum dan harus bersendikan
keadilan. Kepastian hukum artinya produk dan ketentuan hukum haruslah memiliki
landasan hukum, keadilan berarti setiap produk dan ketentuan hukum haruslah
memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan tidak merugikan. Realitanya hingga kini,
para ahli hukum ’bingung’ untuk menentukan mana yang harus didahulukan,
kepastian hukum atau keadilan? Banyak ketentuan yang dihasilkan di negeri ini
yang memiliki kepastian hukum akan tetapi mengusik rasa keadilan bahkan merugikan.
Hal tersebut sangat wajar terjadi, karena dalam sistem hukum sekular seluruh
produk hukum dibuat oleh manusia. Alih-alih menghasilkan produk hukum yang
memberikan keadilan, yang ada produk hukum hanyalah dijadikan alat memuaskan
kepentingan para pembuatnya.
d. Tidak Mengikuti Perkembangan Zaman
Sebagai konsekuensi dari
ketidaksempurnaan pembuat hukum, yakni akal manusia, hukum yang diterapkan di
Indonesia seringkali mengalami perubahan karena tidak lagi sesuai dengan
perkembangan zaman. Banyak ketentuan dalam KUHP yang sudah usang mengharuskan
adanya Undang-undang baru yang ‘menyempurnakan’, seperti Undang-undang korupsi,
Undang-undang pers, Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Undang-undang Korupsi yang sudah mengalami 3 kali perubahan dan Undang-undang
Pencucian Uang yang berubah hanya dalam kurun waktu setahun (2002-2003) adalah
bukti konkret, bahwa hukum buatan manusia memang sangat rentan mengalami
perubahan karena harus menyesuaikan dengan kondisi. Tidak hanya itu, perubahan atau pembuatan undang-undang baru
selalu dibarengi dengan pengeluaran anggaran negara yang tidak sedikit. Sebagai
contoh, menurut Agung Laksono anggaran pembahasan RUU Pemerintahan Aceh yang
berasal dari pemerintah sebesar Rp 3 milyar dan dari DPR sebesar Rp 500 juta.
Tidak cukup dengan itu, Departemen Dalam Negeripun mengucurkan uang sebesar Rp
250 juta yang diberikan masing-masing Rp 5 juta kepada 50 orang anggota pansus.
3.
Sistem Peradilan
a. Peradilan yang Berjenjang
Di Indonesia, struktur pengadilan
berjenjang, yakni upaya hukum yang memungkinkan terdakwa yang tidak puas
terhadap vonis hakim mengajukan banding. Dengan upaya hukum tersebut, keputusan
yang telah ditetapkan sebelumnya bisa dibatalkan oleh pengadilan yang lebih
tinggi. Dengan mekanisme tersebut diharapkan menghasilkan kepastian hukum dan
keadilan. Yang terjadi sebaliknya, yakni ketidakpastian hukum karena keputusan
hukum dapat berubah-ubah sesuai jenjang pengadilan, juga akan berujung pada
simpang siurnya keputusan hukum; kepastian hukum yang didambakan masyarakat pun
semakin lama didapatkan, karena harus melalui rantai peradilan yang sangat
panjang. Fenomena ini akan dengan cepat disergap oleh pelaku mafia
peradilan—entah para jaksa, hakim, maupun pengacara—yang menjadikannya sebagai
bisnis basah.
b. Pembuktian yang Lemah dan Tidak Meyakinkan
Pembuktian haruslah bersifat pasti
dan meyakinkan, agar keputusan yang dihasilkan pun pasti dan meyakinkan.
Seharusnya persangkaan atau dugaan seperti dalam pembuktian kasus perdata serta
keterangan ahli dalam dalam kasus pidana, dihapuskan, karena persangkaan hanya
akan menghasilkan ketidakpastian dan keterangan ahli seharusnya diposisikan
hanya sekedar informasi saja.
c. Tidak ada
persamaan di depan hukum
Persamaan di depan hukum (equality
before the law) tanpa memandang status dan kedudukan merupakan sebuah
keharusan. Di Indonesia ada ketentuan, bahwa jika ada pejabat negara –setingkat
bupati dan anggota DPRD—tersangkut perkara pidana harus mendapatkan izin dari
Presiden. Aturan ini cenderung diskriminatif dan memakan waktu serta justru
menunjukkan bahwa equality before the law hanyalah isapan jempol.
4.
Prilaku Aparat Penegak Hukum
Penyebab kebobrokan yang cukup
serius adalah bobroknya mental aparat penegak hukum, mulai dari polisi,
panitera, jaksa hingga hakim. Bahkan data terakhir yang dilansir Komisi
Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40% dari total 6.100 hakim
dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum diwarnai
judicial corruption.
Untuk mengantisipasi dan dan melakukan
pengawasan terhadap aparat hukum di Indonesia dibentuklah berbagai macam komisi
sebagai state auxilary bodies antara lain Komisi Ombudsman Nasional, Komisi
Hukum Nasional, KPKPN (sudah dibubarkan) dan KPK. Tidak cukup sampai disitu
saja, tuntutan publik juga diarahkan untuk pembentukan lembaga pengawasan
eksternal lembaga penegak hukum. Tuntutan inilah yang ada pada akhirnya
direspon oleh pembentuk
Undang-undang dengan mengamanatkan pembentukan komisi, misalnya
Komisi Yudisial pembentukannya dimanatkan oleh konstitusi, Komisi Kepolisian
diamanatkan oleh Undang-undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan RI mengmanatkan pembentukan Komisi Kejaksaan meskipun sifatnya tidak
wajib. Sebagai tindak lanjut dari amanat pasal 38 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 (meskipun tidak imperatif)
Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden RI No. 18 tahun 2005 tentang Komisi
Kejaksaan Republik Indonesia.
Apakah dengan adanya mekanisme
tersebut akan menghilangkan praktek mafia peradilan? Memang, adanya berbagai
komisi yang diantaranya memiliki fungsi melakukan pengawasan terhadap aparat
penegak hukum memang merupakan sebuah terobosan yang memiliki ’niat baik’, akan
tetapi ’niat baik’ saja nampaknya tidak cukup. Sebagai contoh, belum lagi
Komisi Yudisial berjalan efektif, sudah muncul masalah baru, yakni perseteruan
Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung (MA).
Sesungguhnya, selain sistem
pengawasan berbasis sistem, permasalahan mendasarnya justru karena tidak ada
pengawasan yang melekat dan berdimensi ruhiyah. Konsekwensi dari sistem hukum
dan peradilan sekular yang menafikan keberadaan Allah mengakibatkan mereka
melakukan sesuatu tanpa memperhatikan benar-salah, baik-buruk apalagi
halal-haram.
Solusi yang dapat dilakukan dalam memperbaiki penegakan hukum
di indonesia, lembaga peradilan adalah institusi yang memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan arah penegakan hukum berada dalam posisi yang sentral dan selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Sayangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan belum menunjukkan perbaikan yang signifikan oleh karenanya diperlukan upaya untuk memperbaiki penegakan hukum dinegeri kita.
di indonesia, lembaga peradilan adalah institusi yang memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan arah penegakan hukum berada dalam posisi yang sentral dan selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Sayangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan belum menunjukkan perbaikan yang signifikan oleh karenanya diperlukan upaya untuk memperbaiki penegakan hukum dinegeri kita.
Oleh sebab itu, diperlukan solusi atau upaya yang kongkret dalam
mewujudkan supremasi hukum dinegara kita. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan, seperti :
1. Perbaikan pada komponen struktural yaitu dengan
mengganti dan menghukum dengan seberat-beratnya para penegak hukum yang
melakukan pelanggaran hukum seperti penyuapan atau pemalsuan dokumen. Hal ini
sangat penting mengingat penegak hukum merupakan penentu tegaknya hukum disuatu
negara karena, percuma jika aturan yang ditetapkan bersifat tegas akan tetapi
pelaksana aturan tersebut lemah.
2.
Perbaikan
pada komponen subtansi dan budaya hukum yaitu dengan merevisi peraturan
perundang undangan yang berkaitan dengan tindak pidana. Misalnya dengan merubah
sanksi bagi yang melakukan korupsi sampai pada hukuman mati atau dengan
menerapakan hukum islam yaitu hukum qishas seperti yang berlaku di arab saudi
dalam bentuk hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian. Semua hal tersebut
bertujuan agar memberi efek jera pada pelaku dan semua orang akan takut
melakukan tindak kejahatan. Hal ini juga akan memberikan pendidikan yang sangat
berharga pada masyarakat.
Di sisi lain yang juga mendapat perhatian
khusus dalam mencari solusi terhadap potret hukum di Indonesia adalah dengan
meneliti bagaimana penegakan hukum. Menurut Zakky Mubarak, dkk, dalam bukunya Manusia
Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat ada dua faktor utama mengapa hukum
diIndonesia belum bisa berjalan dengan baik.
Pertama, para aparat hukum yang ada
belum optimal menjalankan perannya sebagai penegak hukum, terlihat dari kurang
diamalkannya etika profesi yang ada oleh aparat hukum tersebut.
Kedua, kurangnya kesadaran dari
masyarakat akan pentingnya mentaati hukum, sehingga hukum bisa sesuai dengan
fungsinya yaitu mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada,
terlihat dari banyaknya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan masyarakat
mulai dari hal yang kecil, seperti membuang sampah sembarangan, sampai hal yang
besar, seperti penggunaan formalin dalam produksi makanan, peredaran narkoba,
dan lain-lain.
Kedua
faktor di atas berkaitan erat dan saling mendukung dalam menciptakan lemahnya
penegakan hukum diIndonesiayang salah satu efeknya adalah tindakan amukmassa.
Amukmassamuncul akibat dari ketidakpuasan masyarakat akan lemahnya penegakan
hukum yang dilakukan oleh aparat hukum di negara kita. Melihat aparat hukum
yang harusnya menjadi penegak hukum justru malah melanggar hukum yang harus
ditegakannya itu. Masyarakat pun jengah dengan semua itu, sebagian yang berpikiran
pendek malah bertindak anarki dan main hakim sendiri, maka terjadilah
amukmassayang bukannya menyelesaikan masalah, tapi justru menambah masalah.
Permasalahan
tersebut memerlukan solusi yang tepat agar tidak terjadi berlarut-larut dan
semakin parah. Yang pertama kali diperbaiki tentu adalah profesionalisme aparat
hukum dalam menjalankan amanah dari masyarakat sebagai penegak hukum yang harus
menjadi pedoman bagaimana perilaku seseorang yang taat hukum. Berikutnya
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mentaati hukum sehingga
hukum bisa berfungsi sebagaimana mestinya sebagai sarana pengendali sosial
sehingga dapat mewujudkan tujuan dari hukum itu sendiri yaitu mewujudkan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hery
Herawan dalam majalah “Skyrider 27 Zone,
menuliskan bahwa potret hukum di negeri ini sebagai berikut :
1.
Ketidak percayaan masyarakat pada hukum
Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih
banyak merugikan mereka,dan sedapat mungkin dihindari. Bila seseorang melanggar
peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah jamak dilakukan upaya “damai” dengan
petugas polisi yang bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan .
Memang dalam hukum perdata, dikenal pilihan penyelesaian masalah dengan
arbitrase atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu dan
biaya. Namun tidak demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya
menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di indonesia, bahkan persoalan pidana
pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan.
2. Penyelesaian
konflik dengan kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di
beberapa tempat di indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang
membawa akibat hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa
melalui proses pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor,
perampok, penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu merupakan
contoh. Menurut durkheim masyarakat ini menerapkan hukum yang bersifat menekan
(repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan
rasional mengenai jumlah kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu,
melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan yang
menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan
juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan
tindakan pelanggaran yang sama.
3. Pemanfaatan
inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingan pribadi
Dalam beberapa kasus yang berhasil
ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya kasus korupsi dan kolusi yang
melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim dalam suatu perkara. Kasus ini
biasanya melibatkan pengacara yang menjadi perantara antara terdakwa dan aparat
penegak hukum. Fungsi pengacara yang seharusnya berada di kutub memperjuangkan
keadilan bagi terdakwa , berubah menjadi pencari kebebasan dan keputusan
seringan mungkin dengan segala cara bagi kliennya. Sementara posisi polisi dan
jaksa yang seharusnya berada di kutub yang menjaga adanya kepastian hukum,
terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian pula hakim yang seharusnya berada
ditengah-tengah dua kutub tersebut, kutub keadilan dan kepastian hukum, bisa
jadi condong membebaskan atau memberikan putusan seringan-ringannya bagi
terdakwa setelah melalui kesepakatan tertentu.
4. Penggunaan tekanan asing dalam
proses peradilan
Campur tangan asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan
asing dapat membawa berkah bagi pencari keadilan dengan dipercepatnya
penyidikan dan penegakan hukum oleh aparat. Lembaga asing non pemerintah
biasanya aktif melakukan tekanan-tekanan semaam ini, misalnya dalam pengusutan
kasus pembunuhan di aceh, tragedi ambon, sambas, dan sebagainya. Namun di lain pihak tekanan asing
kadang juga memberi mimpi buruk pula bagi masyarakat. Beberapa perusahaan asing
yang terkena kasus pencemaran lingkungan, gugatan tanah oleh masyarakat adat
setempat, serta sengketa perburuhan, kadang menggunakan negara induknya untuk
melakukan pendekatan dan tekanan terhadap pemerintah indonesia agar tercapai
kesepakatan yang menguntungkan kepentingan mereka, tanpa membiarkan hukum untuk
menyelesaikannnya secara mandiri. Tekanan tersebut dapat berupa ancaman
embargo, penggagalan penanaman modal, penghentian dukungan politik, dan
sebagainya. Kesemuanya untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam proses
hukum yang sedang atau akan dijalaninya.
Persoalannya adalah bagaimana mengatasi
ini semua, tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti
dengan penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok
advokat, pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi
serta adanya sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela,
adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat
diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik
bagi aparat penegak hukum.
C. PENUTUP
Titik akhir dari tulisan ini adalah
menginginkan agar potret hukum di Indonesia menjadi baik bahkan lebih baik lagi
dari yang sudah ada. Perubahan
hukum yang berlaku jika tidak mencerminkan nilai adat dan budaya yang dimiliki
oleh masyarakat hendaknya jangan dipaksakan untuk diterapkan. Paling tidak masyarakat tidak terbebani
oleh pemberlakuan hukum yang tidak diketahuinya. Dan tawaran yang pernah di lontarkan oleh Satjipto Raharjo
melalui ide dan konsepnya yakni hukum progesif mungkin dapat menjadi
pertimbangan untuk dijadikan acuan dalam merubah keberadaan hukum yang selama
ini berlaku. Sebagaimana yang dituangkannya dalam Kompas dengan judul Membedah
Hukum Progesif. Progresif
adalah kata yang berasal dari bahasa asing (Inggris) yang asal katanya
adalah progress yang artinya maju. Hukum Progresif
berarti hukum yang bersifat maju. Istilah hukum progresif, diperkenalkan oleh
Satjipto Rahardjo, yang dilandasi asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk
manusia. Satjipto Rahardjo merasa prihatin dengan rendahnya kontribusi ilmu
hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk
krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Adapun pengertian hukum progresif,
adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori
dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut di
dasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan
hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih
luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan
manusia.
Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh
Satjipto Rahardjo tersebut berarti hukum progresif adalah serangkaian tindakan
yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah
peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam
mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Secara
lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan, baik
dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan
hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan
kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasan atau keberpihakan dalam menegakkan hukum.
Sebab menurutnya, hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan
bagi semua rakyat.
Satjipto Rahardjo
mencoba menyoroti kondisi di atas ke dalam situasi ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu
hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika, tetapi pada dasarnya tejadi
perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang di rumuskannya dengan kalimat dari
yang sederhana menjadi rumit dan dari yang terkotak-kotak menjadi satu
kesatuan. Inilah yang disebutnya sebagai pandangan holistik dalam ilmu (hukum).
Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk
menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan
manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah pertama hukum ada
untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada
status law in
the making dan tidak
bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.
Masih banyak lagi
untuk digali dan dicermati terhadap potret hukum negeri ini. Pernyataan demi
pernyataan, kejadian demi kejadian, perbuhan demi perubahan dan pergantian
kekuasaan serta jabatan penguasa negeri membuat hukum hanya tambal sulam yang
tiada akhir. Mustikah harus seperti ini terus kelangsungan hukum di negeri ini
atau masihkah pantas untuk dipertahankan, solusinya ada sama kita semua. Mari
bangkit dan merubah hukum itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar