Jumat, 26 Desember 2014

jurnal

Potret Hukum Di Indonesia
(Antara Froblemantika dan Solusi)
Oleh : Amrunsyah, S. Ag,.M.H

A.  PENDAHULUAN
Buruk muka cermin terbelah, begitulah kata pribahasa. Untuk mengkaji tentang hukum yang berlaku saat ini di Indonesia tidak mudah sebagaimana membalikkan telapak tangan. Karena kondisi hukum di Indonesia menunjukan keprihatinan yang mendalam. Banyak istilah yang diberikan kepada peraturan hukumnya, penegak hukumnya, lembaga hukumnya dan hampir rata-rata masyarakat mencibir keberadaannya. Hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Namun, apakah salah hukum itu? Padahal di terapkannya hukum itu adalah untuk memberikan keadilan dan menurut Satjipto Raharjo (Guru Besar Sosiologi Hukum UNDIP) “Bahwa tujuan akhir bernegara hukum adalah untuk menjadikan kehidupan rakyat dan bangsa ini bahagia,”
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, bahkan Presiden SBY mengajak rakyat untuk menjadikan hukum sebagai panglima. Namun ini hanya sebatas kata-kata dan di awal tahun 2014, karena dengan mata telanjang masyarakat secara nyata menyaksikan dan di mana-mana mengatakan bahwa hukum hanya sebagai lips servis untuk di jadikan alat penguasa bahkan semua institusi penegak hukum mendapat sorotan yang tajam. Dari kepolisian didengar banyaknya kasus penganiayaan dan pemerasan terhadap tersangka yang dilakukan oknum Polisi pada saat proses penyidikan, oknum jaksa dan oknum hakim di tangkap KPK karena menerima suap ditambah lagi pejabat-pejabat bejat baik yang duduk di eksekutif maupun yang duduk di legeslatif tersangkut masalah hukum, terutama tindak pidana korupsi.
.Uraian di atas menunjukkan betapa rusaknya sistem hukum di Indonesia. Keprihatinan yang mendalam tentunya melihat reformasi hukum yang masih berjalan lambat dan belum memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan yang dipersepsi masyarakat (the absence of justice). Ketiadaan keadilan hukum sehingga tidak dapat memberikan kesejahtraan bagi rakyat merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidak hormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidak percayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law).
Cita-cita reformasi untuk mendudukan hukum di tempat tertinggi (supremacy of law) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga detik ini tak pernah terrealisasi. Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan-angan. Dan kalaupun hukum ditegakkan maka penegakannya diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, atau kolusi polisi, hakim, advokat dan jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan hukum yang “kumuh” seperti itu menjadikan hukum di negeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar yunani plato (427-347 s.m) yang menyatakan bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada. Menurut lawrence meir friedman di dalam suatu sistem hukum terdapat tiga unsur yaitu struktur , substansi , dan kultur hukum dalam konteks indonesia, reformasi terhadap ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh friedman tersebut sangat mutlak untuk dilakukan.
Terkait dengan struktur sistem hukum, perlu dilakukan penataan terhadap intitusi hukum yang ada seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat. Selain itu perlu juga dilakukan penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera diperbaiki terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah birokrasi dan administrasi lembaga penegak hukum. Memang benar apa yang dikemukan oleh max weber (1864-1920) bahwa salah satu ciri dari hukum modern adalah hukum yang sangat birokratis. Namun, birokrasi yang ada harus respon terhadap realitas sosial masyarakat sehingga dapat melayani masyarakat pencari keadilan dengan baik. Dalam hal substansi sistem hukum perlu segera diperbaiki berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang menunjang proses penegakan hukum di Indinesia
B.  PEMBAHASAN
Setelah melihat kondisi hukum yang terpuruk tersebut, maka tidak ada kata lain selain terus mengedepankan reformasi hukum yang telah digagas oleh bangsa ini. Kegiatan reformasi hukum perlu dilakukan dalam rangka mencapai supremasi hukum yang berkeadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat bukan bagi penguas dan pejabat tinggi negara. Beberapa konsep yang perlu diwujudkan antara lain :
Menurut Lawrence Fridman reformasi hukum harus menyentuh tiga komponen hukum, yaitu :
1.      Struktur Hukum, dalam pengertian bahwa struktur hukum merupakan pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri atas bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum, perangkat hukum, dan proses serta kinerja mereka.
2.      Substansi Hukum, dimana merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya isi hukum tersebut harus merupakan sesuatu yang bertujuan untukmenciptakan keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat.
3.      Budaya Hukum, hal ini terkait dengan profesionalisme para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, dan tentunya kesadaran masyarakat dalam menaati hukum itu sendiri.

Mereformasi hukum yang belaku di Indonesia tidak mudah seperti membalikan telapak tangan. Mengingat pemberlakuan hukumnya sudah mendarah daging di penegak hukum dan lembaga hukum itu sendiri. Namun usaha perbaikan demi tercapaikannya keadilan merupakan kewajiban yang harus terus dilaksanakan sampai sistem hukum di negeri ini dapat memberikan makna sesuai dengan tujuan dari hukum itu di berlakukan.

Sementara menurut Prema Cintya Virayasti Gusti Ayu setidaknya terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia, ketujuh faktor tersebut adalah :
1.      Lemahnya political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat kampanye.
2.      Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat.
3.      Rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum.
4.      Minimnya sarana dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum.
5.      Tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum.
6.      Paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice).
7.      kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis. Mencermati berbagai problem yang menghambat proses penegakan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada. Sebagai masyarakat Indonesia, negeri ini butuh penegakkan hokum yang adil dan tegas. Tidak ada diskriminasi dalam penegakkanya, masyarakat Indonesia begitu haus dengan penegakkan hukum yang adil.

Pada sisi lain Widiya Ayu Rekti mengungkapkan ada  empat hal yang menjadi penyebab kebobrokan hukum di Indonesia, diantaranya :

1.      Landasan Hukum

Sistem hukum dan peradilan di Indonesia sangat dipengaruhi dan dilandasi oleh sistem hukum dan peradilan Barat yang sekular, yakni bersamaan dengan kemunculan sistem demokrasi pada abad gelap pertengahan’ (the dark middle age) yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menetapkan hukum tanpa terikat oleh ajaran agama (Kristen). Sumber pokok Hukum Perdata di Indonesia (Burgerlijk Wetboek) berasal dari hukum perdata Perancis, yaitu Code Napoleon (1811-1838), yang karena pendudukan Perancis di Belanda berlaku di juga negeri Belanda (1838). Sementara di Indonesia, mulai berlaku sejak 1 Mei 1848 bersamaan dengan penjajahan Belanda. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP atau Wetboek van Strafrecht yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1918 setelah sebelumnya diberlakukan tahun 1873 juga merupakan copy dari KUHP untuk golongan Eropa (1867) dan KUHP untuk golongan Eropa juga merupakan copy dari Code Penal, yaitu Hukum Pidana di Perancis zaman Napoleon (1811). Begitu juga dengan hukum acara perdata dan pidana yang juga berasal dari Barat, walaupun dengan penyesuaian.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa sistem hukum dan peradilan di Indonesia merupakan produk Barat Sekular yang mengesampingkan Al-Khaliq sebagai pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Sehingga dapat dipastikan produk hukum yang dikeluarkan pasti tidak akan sempurna dan memiliki banyak kelemahan. Padahal bisa saja menggali dari potensi budaya masyarakat indonesia yang beragam adat dan budaya.

2.      Materi dan Sanksi Hukum

Penyebab kebobrokan berikutnya adalah materi hukum sebagai konsekuensi dari sumber hukum yang sekular. Setidaknya tercermin dalam beberapa hal berikut :

a.  Materi dan Sanksi Hukum Tidak Lengkap
Ketidaklengkapan mengatur semua hal, bukan hanya akan menimbulkan kekacauan, akan tetapi akan memicu tindak kejahatan yang lain dan memiliki dampak yang luas. Sebagai contoh, dalam KUHP Pasal 284, yang termasuk dalam kategori perzinahan (persetubuhan di luar nikah) yang dikenakan sanksi hanyalah pria dan atau wanita yang telah menikah, itupun jika ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. Jika yang berzinah salah satu atau keduanya belum menikah dan dilakukan atas dasar suka-sama suka, maka tidak dikenakan sanksi. Saat ini fenomena seks bebas di kalangan remaja (kumpul kebo), lalu hamil di luar nikah dan berujung pengguguran kandungan (aborsi), diduga kuat karena tidak adanya sanksi atas mereka. Contoh lain, tidak adanya aturan tentang pergaulan laki-laki dan perempuan termasuk batasan aurat, sehingga berdampak pelecehan terhadap perempuan. Tidak adanya hukuman bagi peminum khamr yang menyebabkan rusaknya akal masyarakat dan memicu tindak kriminal, tidak ada sanksi bagi yang murtad, sehingga agama mudah dilecehkan, dan banyak lagi permasalahan masyarakat yang tidak diatur sehingga berpotensi rusaknya individu dan masyarakat.

b.  Sanksi Hukum Tidak Menimbulkan Efek Jera
Salah satu tujuan diterapkannya sanksi bagi pelaku kejahatan, agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi. Untuk itu, seharusnya pelaku dihukum dengan sanksi yang membuat jera. Sebagai contoh, pembunuhan yang disengaja (Pasal 338 KUHP) hanya dikenakan sanksi paling lama penjara 15 tahun, Pencurian (Pasal 362 KUHP) hanya dikenakan sanksi penjara paling lama 5 tahun. Hubungan badan (perzinahan) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP, hanya dikenakan sanksi paling lama 9 bulan penjara.
Sanksi yang tidak menimbulkan efek jera sebagaimana contoh diatas alih-alih menekan angka kejahatan, yang terjadi malah jumlah penjahat dan residivis terus meningkat yang berakibat pemerintah kewalahan untuk membiayai makan para napi/tahanan. 
Hal tersebut tentunya juga diperkuat dengan sistem pemidanaan penjara yang justru memberi peluang terpidana mengulangi kejahatan yang pernah dilakukan. Di penjara, terpidana bukan hanya dapat bebas ’belajar’ trik melakukan kejahatan yang lebih besar, bahkan disinyalir saat ini penjara malah menjadi tempat yang nyaman melakukan pelecehan seksual, seperti kasus sodomi dan lesbi, kasus pemerasan, dan kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Kasus-kasus kejahatan itu tidak hanya terjadi di antara narapidana, tetapi juga bisa dengan pihak lain, seperti pegawai LP atau pengunjung.

c.  Hukum Hanya Mementingkan Kepastian Hukum dan Mengabaikan
Keadilan.
Sistem hukum di Indonesia mengharuskan bahwa hukum harus menjamin kepastian hukum dan harus bersendikan keadilan. Kepastian hukum artinya produk dan ketentuan hukum haruslah memiliki landasan hukum, keadilan berarti setiap produk dan ketentuan hukum haruslah memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan tidak merugikan. Realitanya hingga kini, para ahli hukum ’bingung’ untuk menentukan mana yang harus didahulukan, kepastian hukum atau keadilan? Banyak ketentuan yang dihasilkan di negeri ini yang memiliki kepastian hukum akan tetapi mengusik rasa keadilan bahkan merugikan. Hal tersebut sangat wajar terjadi, karena dalam sistem hukum sekular seluruh produk hukum dibuat oleh manusia. Alih-alih menghasilkan produk hukum yang memberikan keadilan, yang ada produk hukum hanyalah dijadikan alat memuaskan kepentingan para pembuatnya.



d. Tidak Mengikuti Perkembangan Zaman
Sebagai konsekuensi dari ketidaksempurnaan pembuat hukum, yakni akal manusia, hukum yang diterapkan di Indonesia seringkali mengalami perubahan karena tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Banyak ketentuan dalam KUHP yang sudah usang mengharuskan adanya Undang-undang baru yang ‘menyempurnakan’, seperti Undang-undang korupsi, Undang-undang pers, Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Undang-undang Korupsi yang sudah mengalami 3 kali perubahan dan Undang-undang Pencucian Uang yang berubah hanya dalam kurun waktu setahun (2002-2003) adalah bukti konkret, bahwa hukum buatan manusia memang sangat rentan mengalami perubahan karena harus menyesuaikan dengan kondisi. Tidak hanya itu, perubahan atau pembuatan undang-undang baru selalu dibarengi dengan pengeluaran anggaran negara yang tidak sedikit. Sebagai contoh, menurut Agung Laksono anggaran pembahasan RUU Pemerintahan Aceh yang berasal dari pemerintah sebesar Rp 3 milyar dan dari DPR sebesar Rp 500 juta. Tidak cukup dengan itu, Departemen Dalam Negeripun mengucurkan uang sebesar Rp 250 juta yang diberikan masing-masing Rp 5 juta kepada 50 orang anggota pansus.

3.      Sistem Peradilan

a. Peradilan yang Berjenjang
Di Indonesia, struktur pengadilan berjenjang, yakni upaya hukum yang memungkinkan terdakwa yang tidak puas terhadap vonis hakim mengajukan banding. Dengan upaya hukum tersebut, keputusan yang telah ditetapkan sebelumnya bisa dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Dengan mekanisme tersebut diharapkan menghasilkan kepastian hukum dan keadilan. Yang terjadi sebaliknya, yakni ketidakpastian hukum karena keputusan hukum dapat berubah-ubah sesuai jenjang pengadilan, juga akan berujung pada simpang siurnya keputusan hukum; kepastian hukum yang didambakan masyarakat pun semakin lama didapatkan, karena harus melalui rantai peradilan yang sangat panjang. Fenomena ini akan dengan cepat disergap oleh pelaku mafia peradilan—entah para jaksa, hakim, maupun pengacara—yang menjadikannya sebagai bisnis basah.

b. Pembuktian yang Lemah dan Tidak Meyakinkan
Pembuktian haruslah bersifat pasti dan meyakinkan, agar keputusan yang dihasilkan pun pasti dan meyakinkan. Seharusnya persangkaan atau dugaan seperti dalam pembuktian kasus perdata serta keterangan ahli dalam dalam kasus pidana, dihapuskan, karena persangkaan hanya akan menghasilkan ketidakpastian dan keterangan ahli seharusnya diposisikan hanya sekedar informasi saja.

c.  Tidak ada persamaan di depan hukum
Persamaan di depan hukum (equality before the law) tanpa memandang status dan kedudukan merupakan sebuah keharusan. Di Indonesia ada ketentuan, bahwa jika ada pejabat negara –setingkat bupati dan anggota DPRD—tersangkut perkara pidana harus mendapatkan izin dari Presiden. Aturan ini cenderung diskriminatif dan memakan waktu serta justru menunjukkan bahwa equality before the law hanyalah isapan jempol.

4.      Prilaku Aparat Penegak Hukum

Penyebab kebobrokan yang cukup serius adalah bobroknya mental aparat penegak hukum, mulai dari polisi, panitera, jaksa hingga hakim. Bahkan data terakhir yang dilansir Komisi Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40% dari total 6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum diwarnai judicial corruption.

Untuk mengantisipasi dan dan melakukan pengawasan terhadap aparat hukum di Indonesia dibentuklah berbagai macam komisi sebagai state auxilary bodies antara lain Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, KPKPN (sudah dibubarkan) dan KPK. Tidak cukup sampai disitu saja, tuntutan publik juga diarahkan untuk pembentukan lembaga pengawasan eksternal lembaga penegak hukum. Tuntutan inilah yang ada pada akhirnya direspon oleh pembentuk

Undang-undang dengan mengamanatkan pembentukan komisi, misalnya Komisi Yudisial pembentukannya dimanatkan oleh konstitusi, Komisi Kepolisian diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI mengmanatkan pembentukan Komisi Kejaksaan meskipun sifatnya tidak wajib. Sebagai tindak lanjut dari amanat pasal 38 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 (meskipun tidak imperatif) Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden RI No. 18 tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia.
Apakah dengan adanya mekanisme tersebut akan menghilangkan praktek mafia peradilan? Memang, adanya berbagai komisi yang diantaranya memiliki fungsi melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum memang merupakan sebuah terobosan yang memiliki ’niat baik’, akan tetapi ’niat baik’ saja nampaknya tidak cukup. Sebagai contoh, belum lagi Komisi Yudisial berjalan efektif, sudah muncul masalah baru, yakni perseteruan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung (MA).
Sesungguhnya, selain sistem pengawasan berbasis sistem, permasalahan mendasarnya justru karena tidak ada pengawasan yang melekat dan berdimensi ruhiyah. Konsekwensi dari sistem hukum dan peradilan sekular yang menafikan keberadaan Allah mengakibatkan mereka melakukan sesuatu tanpa memperhatikan benar-salah, baik-buruk apalagi halal-haram.
Solusi yang dapat dilakukan dalam memperbaiki penegakan hukum
di indonesia, lembaga peradilan adalah institusi yang memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan arah penegakan hukum berada dalam posisi yang sentral dan selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Sayangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan belum menunjukkan perbaikan yang signifikan oleh karenanya diperlukan upaya untuk memperbaiki penegakan hukum dinegeri kita.
Oleh sebab itu, diperlukan solusi atau upaya yang kongkret dalam mewujudkan supremasi hukum dinegara kita. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan, seperti :
1.      Perbaikan pada komponen struktural yaitu dengan mengganti dan menghukum dengan seberat-beratnya para penegak hukum yang melakukan pelanggaran hukum seperti penyuapan atau pemalsuan dokumen. Hal ini sangat penting mengingat penegak hukum merupakan penentu tegaknya hukum disuatu negara karena, percuma jika aturan yang ditetapkan bersifat tegas akan tetapi pelaksana aturan tersebut lemah.

2.      Perbaikan pada komponen subtansi dan budaya hukum yaitu dengan merevisi peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan tindak pidana. Misalnya dengan merubah sanksi bagi yang melakukan korupsi sampai pada hukuman mati atau dengan menerapakan hukum islam yaitu hukum qishas seperti yang berlaku di arab saudi dalam bentuk hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian. Semua hal tersebut bertujuan agar memberi efek jera pada pelaku dan semua orang akan takut melakukan tindak kejahatan. Hal ini juga akan memberikan pendidikan yang sangat berharga pada masyarakat.
Di sisi lain yang juga mendapat perhatian khusus dalam mencari solusi terhadap potret hukum di Indonesia adalah dengan meneliti bagaimana penegakan hukum. Menurut Zakky Mubarak, dkk, dalam bukunya Manusia Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat ada dua faktor utama mengapa hukum diIndonesia belum bisa berjalan dengan baik.
Pertama, para aparat hukum yang ada belum optimal menjalankan perannya sebagai penegak hukum, terlihat dari kurang diamalkannya etika profesi yang ada oleh aparat hukum tersebut. 
Kedua, kurangnya kesadaran dari masyarakat akan pentingnya mentaati hukum, sehingga hukum bisa sesuai dengan fungsinya yaitu mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada, terlihat dari banyaknya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan masyarakat mulai dari hal yang kecil, seperti membuang sampah sembarangan, sampai hal yang besar, seperti penggunaan formalin dalam produksi makanan, peredaran narkoba, dan lain-lain.
Kedua faktor di atas berkaitan erat dan saling mendukung dalam menciptakan lemahnya penegakan hukum diIndonesiayang salah satu efeknya adalah tindakan amukmassa. Amukmassamuncul akibat dari ketidakpuasan masyarakat akan lemahnya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat hukum di negara kita. Melihat aparat hukum yang harusnya menjadi penegak hukum justru malah melanggar hukum yang harus ditegakannya itu. Masyarakat pun jengah dengan semua itu, sebagian yang berpikiran pendek malah bertindak anarki dan main hakim sendiri, maka terjadilah amukmassayang bukannya menyelesaikan masalah, tapi justru menambah masalah.
Permasalahan tersebut memerlukan solusi yang tepat agar tidak terjadi berlarut-larut dan semakin parah. Yang pertama kali diperbaiki tentu adalah profesionalisme aparat hukum dalam menjalankan amanah dari masyarakat sebagai penegak hukum yang harus menjadi pedoman bagaimana perilaku seseorang yang taat hukum. Berikutnya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mentaati hukum sehingga hukum bisa berfungsi sebagaimana mestinya sebagai sarana pengendali sosial sehingga dapat mewujudkan tujuan dari hukum itu sendiri yaitu mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hery Herawan dalam majalah “Skyrider 27 Zone, menuliskan bahwa potret hukum di negeri ini sebagai berikut :
1.    Ketidak percayaan masyarakat pada hukum
Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan sedapat mungkin dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah jamak dilakukan upaya “damai” dengan petugas polisi yang bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan . Memang dalam hukum perdata, dikenal pilihan penyelesaian masalah dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun tidak demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di indonesia, bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan.
2.    Penyelesaian konflik dengan kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa tempat di indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok, penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu merupakan contoh. Menurut durkheim masyarakat ini menerapkan hukum yang bersifat menekan (repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan rasional mengenai jumlah kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu, melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan yang menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindakan pelanggaran yang sama.
3.    Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingan pribadi
Dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya kasus korupsi dan kolusi yang melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim dalam suatu perkara. Kasus ini biasanya melibatkan pengacara yang menjadi perantara antara terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi pengacara yang seharusnya berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi terdakwa , berubah menjadi pencari kebebasan dan keputusan seringan mungkin dengan segala cara bagi kliennya. Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub yang menjaga adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian pula hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah dua kutub tersebut, kutub keadilan dan kepastian hukum, bisa jadi condong membebaskan atau memberikan putusan seringan-ringannya bagi terdakwa setelah melalui kesepakatan tertentu.
4. Penggunaan tekanan asing dalam proses peradilan
Campur tangan asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan asing dapat membawa berkah bagi pencari keadilan dengan dipercepatnya penyidikan dan penegakan hukum oleh aparat. Lembaga asing non pemerintah biasanya aktif melakukan tekanan-tekanan semaam ini, misalnya dalam pengusutan kasus pembunuhan di aceh, tragedi ambon, sambas, dan sebagainya. Namun di lain pihak tekanan asing kadang juga memberi mimpi buruk pula bagi masyarakat. Beberapa perusahaan asing yang terkena kasus pencemaran lingkungan, gugatan tanah oleh masyarakat adat setempat, serta sengketa perburuhan, kadang menggunakan negara induknya untuk melakukan pendekatan dan tekanan terhadap pemerintah indonesia agar tercapai kesepakatan yang menguntungkan kepentingan mereka, tanpa membiarkan hukum untuk menyelesaikannnya secara mandiri. Tekanan tersebut dapat berupa ancaman embargo, penggagalan penanaman modal, penghentian dukungan politik, dan sebagainya. Kesemuanya untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam proses hukum yang sedang atau akan dijalaninya.
Persoalannya adalah bagaimana mengatasi ini semua, tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak hukum.
C.    PENUTUP
Titik akhir dari tulisan ini adalah menginginkan agar potret hukum di Indonesia menjadi baik bahkan lebih baik lagi dari yang sudah ada. Perubahan hukum yang berlaku jika tidak mencerminkan nilai adat dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat hendaknya jangan dipaksakan untuk diterapkan. Paling tidak masyarakat tidak terbebani oleh pemberlakuan hukum yang tidak diketahuinya. Dan tawaran yang pernah di lontarkan oleh Satjipto Raharjo melalui ide dan konsepnya yakni hukum progesif mungkin dapat menjadi pertimbangan untuk dijadikan acuan dalam merubah keberadaan hukum yang selama ini berlaku. Sebagaimana yang dituangkannya dalam Kompas dengan judul Membedah Hukum Progesif. Progresif adalah kata yang berasal dari bahasa asing (Inggris) yang asal katanya adalah progress yang artinya maju. Hukum Progresif berarti hukum yang bersifat maju. Istilah hukum progresif, diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang dilandasi asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo merasa prihatin dengan rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut di dasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.
Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut berarti hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasan atau keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sebab menurutnya, hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat.
Satjipto Rahardjo mencoba menyoroti kondisi di atas ke dalam situasi ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika, tetapi pada dasarnya tejadi perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang di rumuskannya dengan kalimat dari yang sederhana menjadi rumit dan dari yang terkotak-kotak menjadi satu kesatuan. Inilah yang disebutnya sebagai pandangan holistik dalam ilmu (hukum). Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.
Masih banyak lagi untuk digali dan dicermati terhadap potret hukum negeri ini. Pernyataan demi pernyataan, kejadian demi kejadian, perbuhan demi perubahan dan pergantian kekuasaan serta jabatan penguasa negeri membuat hukum hanya tambal sulam yang tiada akhir. Mustikah harus seperti ini terus kelangsungan hukum di negeri ini atau masihkah pantas untuk dipertahankan, solusinya ada sama kita semua. Mari bangkit dan merubah hukum itu!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar