Jumat, 26 Desember 2014

modul sosiologi hukum islam

MODUL 1
PENGANTAR KULIAH
Pengertian Sosiologi Hukum Islam, Objek dan Ruang Lingkup Sosiolgi Hukum, Manfaat, Tujaun dan Khareteristik Sosiologi Hukum dan Metode Pendekatan Dalam Mempelajari Sosiologi Hukum.

A.  Pengertian Sosiologi Hukum Islam

Sosiologi Hukum Islam memiliki makna tersendiri jika dilihat dari masing-masing kata, yakni Sosiologi, Hukum dan Islam. Untuk memudahkan dalam memahami makna kata tersebut, maka dapat diuraikan satu persatu, yakni :
a.    Sosiologi

Secara etimologis, Sosiologi berasal dari dua kata Latin,  socius yang artinya kawan dan kata Yunani, logos yang berarti kata atau berbicara. Jadi, sosiologi adalah berbicara mengenai masyarakat. Menurut Max Weber sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial. Tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan dan berorientasi pada perilaku orang lain.[1]

Menurut Piritim Sorokin, Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari :

1.    Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik, dsb)
2.    Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial (misalnya gejala geografis, biologis, dsb).[2]

b.    Hukum

Hukum adalah seperangkat aturan yang sudah ditetapkan dan di sahkan oleh pemerintah untuk mengatur perilaku masyarakat. Menurut P. Borst yang dimuat dalam buku Pengantar Ilmu Hukum memberikan pengertian hukum dengan keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan keadilan”.[3]
Sementara menurut Iman Jauhari, dalam bukunya Sosiologi Hukum, dinyatakan untuk mengetahui maksud kata hukum terasa sedikit sulit, hal ini disebabkan banyak segi dan bentuk serta aspek-aspek yang terkandung dalam hukum sehingga tidak mungkin orang menyatukannya dalam satu rumusan secara memuaskan. Maka untuk memahaminya tidaklah cukup hanya berpegang atau berpedoman pada salah satu definisi hukum yang telah dirumuskan oleh seorang ahli hukum saja, namun harus pula melihat pendapat ahli hukum lainnya. Kemudian beliau mengungkapkan bahwa hukum adalah rangkaian peraturan yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lain, hubungan anggota masyarakat dengan badan hukum atau hubungan badan hukum yang satu dengan badan hukum yang lain, agar ketertiban, kebenaran dan keadilan dalam masyarakat dapat ditegakkan”.[4]

c.    Islam

Secara etimologis (asal-usul kata, lughawi) kata “Islam” berasal dari bahasa Arab : salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah Ayat 112 :





Artinya : “Bahkan, barangsiapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah, sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati” 
(Al-Baqarah : 112).

Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya.[5]
Dalam pengertian lain Islam adalah wahyu yang diurunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada segenap umat manusia sepanjang masa dan setiap persada. Suatu sistem keyakinan dan tata-ketentuan yang mengatur segala perikehidupan dan penghidupan asasi manusia dalam pelbagai hubungan: dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lainnya yang bertujuan keridhaan Allah, rahmat bagi segenap alam, kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pada garis besarnya terdiri atas akidah, syariat dan akhlak. Bersumberkan Kitab Suci Al-Quran yang merupakan kodifikasi wahyu Allah SWT sebagai penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya yang ditafsirkan oleh Sunnah Rasulullah SAW.[6]
d.    Sosilogi Hukum

Dari sudut pandang sejarah, sosiologi hukum pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang dari Italia yaitu Anzilotti, pada tahun 1882. Sosiologi hukum pada hakikatnya lahir dari pemikiran ahli, baik dibidang Filsafat hukum, ilmu maupun sosiologi. Hasil-hasil pemikiran tersebut tidak saja berasal dari individu-individu tetapi mungkin juga berasal dari mazhab-mazhab atau aliran-aliran yang mewakili sekelompok ahli pemikir, yang secara garis besar mempunyai pendapat yang berbeda.
Menurut Soerjono Soekanto sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti, mengapa manusia patuh pada hukum, dan mengapa dia gagal untuk mentaati hukum tersebut serta factor-faktor social lain yang mempengaruhinya (Pokok-Pokok Sosiologi Hukum) dan menurut Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa sosiologi hukum adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya.[7] Serta menurut R. Otje Salman berpendapat sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis.[8]

e.    Sosiologi Hukum Islam

            Sosiologi Hukum Islam adalah suatu ilmu sosial yang menjelaskan mengenai adanya hubungan timbal balik antara perubahan sosial dengan penempatan hukum Islam.

B.  Objek dan Ruang Lingkup Sosiologi Hukum

Dalam sosiologi terdapat dua unsur pokok, yaitu manusia dan hubungan sosial (masyarakat). Terdapat berbagai pendapat tentang kedudukan individu dan masyarakat ini. Di satu pihak ada yang berpendapat bahwa individu lebih dominan daripada masyarakat, tetapi di pihak lain berpendapat bahwa masyarakat lebih dominan daripada individu. Sementara itu terdapat pendapat yang mengambil posisi tengah yang mengatakan bahwa antara individu dan masyarakat terjadi proses saling mempengaruhi.



  1. Objek Sosiologi

Objek sosiologi ada dua macam, yaitau sobjek material dan objek formal.
a.    Objek material, Objek material sosiologi adalah kehidupan sosial, gejala-gejala, dan proses hubungan antar manusia yang mempengaruhi kesatuan hidup manusia itu sendiri.
b.    Objek formal, Objek formal sosiologi ditekankan pada manusia sebagai makhluk sosial atau masyarakat. Dengan demikian, objek formal sosiologi adalah hubungan antarmanusia serta proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat.

Menurut Soerjono Soekanto, ruang lingkup sosiologi hukum meliputi :

  1. Pola-pola perilaku (hukum) warga masyarakat
  2. Hukum dan pola-pola perilaku sebagai ciptaan dan wujud dari kelompok-kelompok sosial
  3. Hubungan timbal-balik antara perubahan-perubahan dalam hukum dan perubahan-perubahan sosial dan budaya.[9]

Selanjutnya yang menjadi obyek utama kajian sosiologi hukum sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali (1998: 19-32), sebagai berikut :

1.        Menurut istilah Donald Black (1976: 2-4) dalam mengkaji hukum sebagai Government Social Control, sosiologi hukum mengkaji hukum sebagai perangkat kaidah khusus yang berlaku serta dibutuhkan guna menegakkan ketertiban dalam suatu kehidupan masyarakat. Hukum dipandang sebagai rujukan yang akan digunakan oleh pemerintah dalam hal, melakukan pengendalian terhadap perilaku warga masyarakat.
2.        Persoalan pengendalian sosial tersebut oleh sosiologi hukum dikaji dalam kaitannya dengan sosialisasi yaitu proses dalam pembentukan masyarakat. Sebagai makhluk sosial yang menyadari eksistensi sebagai kaidah sosial yang ada dalam masyarakatnya, yang meliputi kaidah moral, agama, dan kaidah sosial lainnya. Dengan kesadaran tersebut diharapkan warga masyarakat menaatinya, berkaitan dengan itu maka tampaklah bahwa sosiologi hukum, cenderung memandang sosialisasi sebagai suatu proses yang mendahului dan menjadi pra kondisi sehingga memungkinkan pengendalian sosial dilaksanakan secara efektif.
3.        Obyek utama sosiologi hukum lainnya adalah stratifikasi. Stratifikasi sebagai obyek yang membahas sosiologi hukum bukanalah stratifikasi hukum seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan teori grundnormnya, melainkan stratifikasi yang dikemukakan dalam suatu sistem kemasyarakatan. Dalam hal ini dapat dibahas bagaimana dampak adanya strstifikasi sosial terhadap hukum dan pelaksana hukum.
4.        Obyek utama lain dari kajian sosiologi hukum adalah pembahasan tentang perubahan, dalam hal ini mencakup perubahan hukum dan perubahan masyarakat serta hubungan timbal balik di antara keduanya. Salah satu persepsi penting dalam kajian sosiologi hukum adalah bahwa perubahan yang terjadi dalam masayarakat dapat direkayasa, dalam arti direncanakan terlebih dahulu oleh pemerintah dengan menggunakan perangkat hukum sebagai alatnya.

C.  Kegunaan dan Tujuan Mempelajari Sosiologi Hukum

a.      Kegunaan Mempelajari Sosiologi Hukum

1.    Sosiologi hukum mampu memberi penjelasan tentang satu dasar terbaik untuk lebih mengerti Undang-undang ahli hukum ketimbang hukum alam, yang kini tak lagi diberi tempat, tetapi tempat kosong yang ditinggalkannya perlu diisi kembali.
2.    Sosiologi hukum mampu menjawab mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serta faktor-faktor sosial lain yang memengaruhinya.
3.    Sosiologi hukum memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial.
4.    Sosiologi hukum memberikan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, maupun sarana untuk mengatur interaksi sosial, agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu. 
5.    Sosiologi hukum memberikan kemungkinan dan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat.[10]

b.      Tujuan Mempelajari Sosiologi Hukum

1.      untuk memberikan penjelasan terhadap praktik hukum. Artinya menjelaskan mengapa dan bagaimana praktik-praktik hukum itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor yang berpengaruh, latar belakang dan sebagainya.
2.      untuk mengetahui bagaimana tumbuh dan berkembanganya gejala-gejala yang ada dalam masyarakat, yang artinya agar kita dapat menyelidiki hubungan yang terdapat antara susunan hukum suatu masyarakat dengan berbagai macam bentuk dan pengaruh apa yang dilakukan oleh pandangan-pandangan religius yang berlaku dalam masyarakat itu terhadap hukum.




Ada empat fungsi mempelajari sosiologi, yaitu sebagai berikut :

  1. Dengan mempelajari sosiologi, kita akan dapat melihat dengan lebih jelas siapa diri kita, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota kelompok atau masyarakat.
  2. Sosiologi membantu kita untuk mampu mengkaji tempat kita di masyarakat, serta dapat melihat budaya lain yang belum kita ketahui.
  3. Dengan bantuan sosiologi, kita akan semakin memahami pula norma, tradisi, keyakinan, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat lain, dan memahami perbedaan-perbedaan yang ada tanpa hal itu menjadi alasan untuk timbulnya konflik di antara anggota masyarakat yang berbeda.
  4. Kita sebagai generasi penerus, mempelajari sosiologi membuat kita lebih tanggap, kritis, dan rasional menghadapi gejala-gejala sosial masyarakat yang makin kompleks dewasa ini, serta mampu mengambil sikap dan tindakan yang tepat dan akurat terhadap setiap situasi sosial yang kita hadapi sehari-hari.

D. Kharakteristik Sosiologi Hukum

            Karakteristik kajian atau studi hukum secara sosiologis menurut Satjipto Rahardjo (1986: 310-311), yaitu:
1.      Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari fenomena hukum yang bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktik-praktik hukum. Sosiologi hukum menjelaskan mengapa dan bagaimana praktik-praktik hukum itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor yang berpengaruh, latar belakang dan sebagainya.
2.      Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris (empirical validity)  dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Bagaimana kenyataannya peraturan itu, apakah sesuai dengan bunyi atau teks dari peraturan itu.
3.      Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku yang menaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Sosiologi hukum tidak menilai antara satu dengan yang lain, perhatian yang utama dari sosiologi hukum hanyalah pada memberikan penjelasan atau gambaran terhadap objek yang dipelajarinya.

Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala gejala sosial lain. Studi yang demikian memiliki beberapa karakteristik, yaitu :
1.      Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasaan terhadap praktek-praktek hukum. Apabila praktek itu dibeda-bedakan kedalam pembuatan undang-undang, penerapan dan pengadilan, maka ia juga mempelajari bagaimana praktek yang terjadi pada masing-masing bidang kegiatan hukum tersebut. Sosiologi hukum berusaha untuk menjelaskan mengapa praktek yang demikian itu terjadi, sebab-sebabnya,  faktor apa saja yang mempengaruhi, latar belakang dan sebagainya. Dengan demikian maka mempelajari hukum secara sosiologi adalah menyelidiki tingkah laku orang dalam bidang hukum. Menurut Weber, tingkah laku ini memiliki dua segi, yaitu “luar” dan “dalam”. Dengan demikian sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, tetapi juga meperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu meliputi motif-motif tingkah laku seseorang. Apabila di sini di sebut tingkah laku hukum maka sosiologi hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai denagn hukum atau yang menyimpang dari kaidah hukum, keduanya merupakan obyek pengamatan dari ilmu ini.
2.      Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Pertanyaan yang bersifat khas disini adalah “Bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan itu?”, “Apakah kenyataan sesuai dengan dengan yang tertera dalam peraturan?”. Perbedaaan yang besar antara pendekatan tradisional yang normative dan pendekatan sosiologis adalah bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada peratuan hokum. Seang yang kedua senantiasa mengujinya dengan data (empiris).
3.      Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku yang menaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Ia tidak menilai yang satu lebih dari yang lain. Perhatiannya yang utama hanyalah pada memberikan penjelasan terhadap objek yang dipelajarinya. Pendekatan yang demikian itu sering menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi ingin membenarkan praktek-praktek yang menyimpang atu melanggar hokum. Sekali lagi bahwa sosiologi hokum tidak memberikan penilaian tapi mendekati hokum dari segi objektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata.
Ketiga karakteristik studi hukum secara sosiologis tersebut diatas sekaligus juga merupakan kunci bagi orang yang berminat untuk melakukan penyelidikan dalam bidang sosiologi hukum. Dengan cara-cara menyelidiki hukum yang demikian itu orang langsung berada di tengah-tengah studi sosiologi hukum. Apapun juga objek yang dipelajarinya, apabila ia menggunakan pendekatan seperti disebutkan pada butir-butir di muka, maka ia sedang melakukan kegiatan dibidang sosiologi hukum. Berikut ini dikemukakan berbagai objek yang menjadi sasaran studi sosiologi hukum.[11]
Sosiologi hukum juga mempelajari “pengorganisasian sosial hukum”. Objek yang menjadi sasaran disini adalah badan-badan yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan penyelenggaran hokum. Sebagai contoh dapat disebut misalnya: “Pembuatan undang-undang pengadilan, polisi, advokat, dan sebagainya. Pada waktu mengkaji pembuatan undang-undang, seperti usia para anggotanya, pendidikannya, latar belakang sosialnya, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut memperoleh perhatian, oleh karena pembuat undang-undang itu dilihat sebagai manifestasi dari kelakuan manusia. Oleh karena itu, faktor-faktor diatas dianggap penting untuk dapat menjelaskan mengapa hasil kerja pembuat undang-undang itu adalah seperti adanya sekarang. Dalam kajian Sosiologi hukum ada anggapan bahwa undang-undang itu tidak dapat sepenuhnya netral, apalagi yang dibuat dalam masyarakat modern yang kompleks, dan menjadi tugas sosiologi hukum untuk menelusuri dan menjelaskan duduk pesoalannya serta faktor-faktor apa yang menyebabkan keadaannya menjadi demikian itu.[12]





















MODUL  2
TEORI-TEORI SOSIOLOGI HUKUM

A.  Teori Strukturalisme Dalam Hukum
                     Berbicara mengenai struktur berarti mengacu kepada semacam susunan hubungan antara komponen-komponen. Seperti struktur kulit bumi, kimia yang mempelajari molekul-molekul, atau seperti struktur kalimat. Struktur ini juga terdapat pada kehidupan sosial manusia, memiliki komponen-komponen yang saling berhubungan satu sama lain. Masyarakat adalah sebuah struktur sosial yang terdiri dari jaringan hubungan sosial yang kompleks antara anggota-anggotanya. Suatu hubungan sosial antara dua orang anggota tertentu pada waktu tertentu, di tempat tertentu, tidak dipandang sebagai satu hubungan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari satu jaringan hubungan sosial yang luas, yang melibatkan keseluruhan anggota masyarakat tersebut. Hubungan kedua orang di atas harus dilihat sebagai bagian dari satu struktur sosial. Inilah prinsip dan objek kajian ilmu sosial, Radcliffe-Brown.[13]
1.    Hukum dan Kaidah Sosial
Kaidah secara etimologi berasal dari bahasa arab yang berarti dasar, fondasi, peraturan, kaidah ( norma ) dan prinsip.[14] Dalam kajian ilmu hukum, kaidah lebih diartikan dengan peraturan atau norma. Menurut terminologi, Hans Kelsen Sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa Kaidah adalah “That something ought to happen,expecially that a human being to behave in a specific way” (Sesuatu yang seharusnya dilakukan, terutama bahwa nabusia harus bertingkah laku menurut cara tertentu.)[15]
Sementara itu menurut Purnadi Purbacakara, Kaidah adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman untuk berprilaku atau bersikap tindak dalam hidup.[16] Sedangkan menurut Soedjono Dirdjosisworo, kaidah atau norma adalah ketentuan-ketentuan tentang baik buruk perilaku manusia di tengan pergaulan hidupnya, dengan menentukan perangkat-perangkat ataun penggal-penggal aturan yang bersifat perintah dan anjuran serta larangan-larangan.[17]
Jadi dapat dikatakan bahwa kaidah atau norma adalah merupakan pedoman yang berupa peraturan-peraturan tentang cara berperilaku atau bertindak yang seharusnya atau sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam bermasyarakat atau keadaan tertentu dan kaidah atau norma sangat berguna untuk member petunjuk pada manusia bagaimana harus bertindak dalam masyarakat serta perbuatan-perbuatan mana yang harus dijalankan dan perbuatan-perbuatan mana yang harus dihindari sehingga akan terwujud kedamaian dan ketertiban dalam masyarakat.
Kaidah atau norma menurut isinya ada dua macam :

1.    Perintah yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang baik.
2.    Larangan yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang tidak baik.[18]

Secara sederhana kaidah atau norma dapat digambarkan sebagai aturan tingkah laku. Sesuatu yang seharusnya atau sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam keadaan tertentu. Ada juga yang menyebut kaidah sebagai petunjuk yang mengikat. Kaidah berfungsi untuk mengatur berbagai kepentingan dalam masyarakat. Ada kepentingan yang saling bersesuaian antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Jika bentrokan kepentingan terjadi, maka kaidah memberikan jalan keluar untuk menyelesaikan bentrokan itu. Kaedah sosial berarti perumusan asas-asas atau patokan-patokan yang berisikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, yang mengatur tentang baik dan buruknya suatu perilaku masyarakat, sehingga menjadi peraturan yang kadang kala tidak tertulis seperti hukum adat dan kebiasaan. Kaidah sosial adalah proses saling memengaruhi melibatkan unsur-unsur yang baik dan benar, serta unsur-unsur lain yang dianggap salah dan buruk.[19]
B.  Teori Fungsionalisme Dalam Sosiologi Hukum
            George Ritzer memperkenalakan paradigma ini sebagai paradikma yang pertama dalam kajian sosiologi. Paradikma ini diambil dari Durkheim, melalui karyanya The Rules of Sociological Method dan Suicide. Durkheim melihat sosiologi yang baru lahir itu, dalam upaya untuk memperoleh kedudukan sebagai cabang ilmu yang berdiri kokoh, yakni filsafat psikologi. Menurut Durkheim fakta  sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta sosial dinyatakan sebagai sesuatu (think), yang berbeda dengan ide. Sesuatu tersebut menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui penyelidikan atau kegiatan mental murni (spekulatif). Untuk memahaminya diperlukan data riil di luar pemikiran manusia. Fakta sosial tidak dapat dipelajari melalui introspeksi, fakta sosial harus diteliti didalam dunia nyata.[20]
                     Teori Fungsional sering dikaitkan dengan struktural, yaitu sesuatu yang urgen dan sangat bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa masalah social. Hal ini disebabkan karena studi struktur dan fungsi masyarakat merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori kontemporer.[21]
            Dalam sosiologi hukum antara teori struktural dan fungsionalisme terangkai menjadi satu ikatan, yakni struktural fungsionalisme atau fungsionalisme struktural. Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan ‘struktural fungsional’ merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. 
Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan serta tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.
C.  Perbandingan Yuridis Empiris dan Yuridis Normatif
1.      Yuridis Empiris
Untuk mendukung perkembangan ilmu hukum, tidak cukup hanya dilakukan dengan melakukan studi mengenai sistem norma saja. Hukum yang pada kenyataannya dibuat dan diterapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat. Artinya, keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial masyarakat serta perilaku manusia yang terkait dengan lembaga hukum tersebut. Seperti halnya, seorang dokter yang baik diharapkan tidak hanya mampu bekerja untuk menyembuhkan pasien dari serangan penyakit,  namun  sekaligus bisa memberi nasehat bagi pasien untuk menjaga keseimbangan makanan serta kebersihan lingkungan hidupnya agar tidak terjangkit penyakit lagi.
Begitu pula seorang penstudi dan praktisi hukum, pada saat tertentu diharapkan mampu memberikan penilaian normatif tentang mana yang salah dan mana yang benar (atau apa yang seyogyanya)  terhadap suatu kasus. Ahli hukum secara teknis dan praktis diharapkan mampu membuat surat gugatan, memberikan pendapat hukum secara analitis, membuat kontrak dan memberikan rujukan mengenai peraturan perundangan yang terkait dalam suatu persoalan hukum. Namun di sisi lain, ahli hukum harus mampu memberikan penjelasan mengenai proses penegakan hukum yang sering kali berjalan lambat, atau mengapa masyarakat tidak menaati hukum serta menjelaskan hubungan antara banyaknya pengangguran dengan tingkat kriminalitas di masyarakat.
Perihal ini memang tidak bisa dijelaskan hanya dengan sudut pandang normatif saja, ahli hukum sebaiknya juga memahami kondisi dan situasi sosial kemasyarakatan dimana hukum itu diterapkan. Oleh karena itu penstudi dan praktisi hukum juga perlu melakukan penelitian hukum secara sosiologis empiris. Satjipto Raharjo mengatakan bahwa untuk mampu memahami hukum lalulintas tidak bisa hanya membaca undang-undang laluintas saja, tapi juga harus turun dan mengamati langsung apa yang terjadi di jalan raya.[22]
Secara umum kalau dibaca dalam buku-buku hukum yang ditulis para ahli hukum empiris, tidak begitu tampak adanya tipe-tipe penelitian di dalamnya. Tetapi kalau dipelajari lebih dalam, maka sesungguhnya ada dua tipe penelitian hukum empiris, yaitu :
1.      Penelitian hukum yuridis sosiologis dan
2.      Penelitian sosiologi tentang hukum.
Perbedaan kedua tipe penelitian ini akan membawa konsekuensi yang luas pada permasalahan yang diajukan, teori yang digunakan serta metode penelitian yang diterapkan. Hal ini selain akan memberikan pemahaman yang utuh terhadap hukum dalam konteks norma maupun ketika diterapkan dalam konteks sosial. Selain itu juga akan memudahkan bagi para penstudi hukum untuk mendorong perkembangan ilmu hukum yang mempunyai nilai guna bagi masyarakat, begitu pula akan bermanfaat bagi para praktisi dan para legislator dalam merumuskan peraturan perundangan agar bisa melindungi kepentingan masyarakat banyak sesuai dengan perkembangan jaman.
Banyak kritikan pedas dari kaum positivis yang mengatakan bahwa mempelajari hukum secara sosiologis empiris hanya akan membuang-buang waktu saja, sebab ilmu tersebut tidak bisa digunakan untuk kepentingan praktis penyelesaian kasus hukum yang dihadapi. Argumentasi ini memang betul dan tak terbantahkan. Tetapi perlu diingat kalau saja para legislator dalam merumuskan peraturan perundangan tidak disertai pertimbangan sosiologis maka produk  perundangan yang dihasilkan tidak bisa bekerja secara maksimal di dalam masyarakat, atau ketika ahli hukum merumuskan draft kontrak tanpa melihat kenyataan di lapangan tentang kepentingan para pihak sebagai faktor yang perlu dijadikan pertimbangan, maka niscaya kontrak tersebut akan banyak diselewengkan pada waktu diberlakukan. Bagi hakim yang memeriksa perkara tanpa mempertimbangkan faktor sosiologis dalam putusannya, maka putusan terebut akan jauh dari rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Untuk itu, tanpa mengurangi rasa hormat para ahli hukum yang berpandangan positivis normatif maupun para ahli hukum yang mengusung paham sosiologis empiris, agar melihat sisi positif dari masing-masing aliran untuk kemudian diambil manfaatnya bagi perkembangan ilmu hukum. Begitu pula dengan para penstudi dan praktisi hukum agar mencoba menerapkan kedua faham tersebut secara proposional dan melakukan penelitian dengan kedua macam aliran tersebut untuk mendapatkan pemahaman hukum yang utuh.
2. Yuridis Normatif
Peter Mahmud Marzuki menjelaskan penelitian hukum normatif adalah suat proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.[23]
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji memberikan pendapat penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum  yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan (data sekunder) yang mencakup :
1). Penelitian terhadap asas-asas hukum, yaitu penelitiian terhadap unsur-unsur hukum baik unsur ideal (normwissenschaft / sollenwissenschaft) yang menghasilkan kaidah-kaidah hukum melalui filsafat hukum dan unsur real (tatsachenwissenschaft / seinwissenschaft) yang menghasilkan tata hukum tertentu (tertulis).   
2). Penelitian terhadap sistematika hukum, yaitu mengadakan identifikasi   terhadap pengertian pokok dalam hukum seperti subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum dalam peraturan perundangan.
3). Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal,  yaitu meneliti keserasian hukum positif (peraturan perundagan) agar tidak bertentangan berdasarkan hierarki perundang-undangan (stufenbau theory).
4).  Perbandingan hukum, yaitu membangun pengetahuan umum mengenai hukum positif dengan membandingkan sistem hukum di satu negara dengan sistem hukum di negara lainnya
5). Sejarah hukum, yaitu meneliti perkembangan hukum positif (peraturan perundagan) dalam kurun waktu tertentu (misalnya: hukum tanah, perkawinan, perpajakan, perusahaan dsb).[24]
Dalam pembahasan hukum normatif dapat dilihat dari beberapa hal, seperti :
a.      Objek Penelitian Hukum Normatif
Penelitian hukum normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memeberikan “justifikasi” preskriptif tentang suatu peristiwa hukum. Sehingga penelitian hukum normatif menjadikan sistem norma sebagai pusat kajiannya. Sistem norma dalam arti yang sederhana adalah sistem kaidah atau aturan.[25] Sehingga peneilitian hukum normatif adalah penelitian yang mempunyai objek kajian tentang kaidah atau aturan hukum. Penelitian hukum normatif meneiliti kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum. Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah susatu peristiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut hukum .
Sehingga apabila orang akan melakukan penelitian hukum normatif, maka ia akan memulai dari suatu peristiwa hukum dan selanjutnya akan dicari rujukan pada sistem norma, seperti peraturan perundangan, asas-asas hukum maupun doktrin-doktrin hukum yang diajarkan para ahli untuk mencari konstruksi hukum maupun hubungan hukumnya.
Misalkan orang tertarik pada fenomena otonomi daerah, fenomena ini akan diuraikan satu persatu berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang ada (UU Otonomi Daerah). Ternyata banyak hal bisa didapatkan mengenai persoalan hukum dari aturan perundagan mengenai peristiwa tersebut. Dari tata cara pemilihan pemerintah daerah melalui PILKADAL, fungsi pengawasan DPRD terhadap Pemerintah Daerah, Penganggaran Daerah, retribusi daerah dan sebagainya. Persoalan di atas tinggal ditentukan secara spesifik mana yang akan dibahas lebih lanjut. Apakah aturan tentang penganggaran daerah misalnya, telah sesuai dengan ketentuan perundangan yang lebih tinggi. Apakah tata cara pengwasan oleh DPRD terhadap pemerintah daerah telah mampu mewujudkan prinsipgood governance dan sebagainya.
Peneitian normatif hanya berhenti pada lingkup konsepsi hukum, asas hukum dan kaidah peraturan saja. Tidak sampai pada perilaku manusia yang menerapkan peraturan tersebut. Sehingga tidak perlu mengkaji apakah anggota DPRD menjalankan ketentuan tentang fungsi pengawasan kepada pemerintah daerah  dengan baik atau tidak. Di samping itu juga tidak perlu meneliti dengan seksama tentang perilaku para politisi dalam mengikuti PILKADAL.
Contoh lainnya, apabila oang tertarik dengan investasi asing di Indonesia cukup mengakaji mengenai segala ketentuan tentang fenomena tersebut. Segala aturan perundangan dari proses perijinan, pengiriman masuknya peralatan, pembuatan kontrak karya, kontrak tenaga kerja asing dan lokal, hingga pembutan perusahaan joint venture. Apakah semua ketentuan dan kontrak tersebut telah sesuai dengan prinsip dan asas hukum serta peraturan perundangan yang ada baik secara vertikal ataupun horisontal? Orang tidak perlu meneliti perilaku dari para tenaga kerja asing ketika bekerja di Indonesia atau mempertanyakan mengenai perilaku para investor asing yang seringkali angkuh dalam proses negosiasi pembuatan joint venture agreement dengan pengusaha Indonesia. Juga tidak perlu meneliti mengenai perilaku investor asing yang suka menyuap para birokrat dalam proses mengurus perijinan.
Penelitian hukum normative menempatkan sistem norma sebagai objek kajiannya. Sistem norma yang dimaksud sebagai objek kajian adalah seluruh unsur-unsur dari norma hukum yang berisi nilai-nilai tentang bagaimana seharusnya manusia bertingkah-laku. Unsur-unsur tersebut adalah:
1.      Norma dasar (basic norm)
2.      Asas-asas hukum
3.      Kitab Undang Undang atau Perundang-undangan
4.      Doktrin atau ajaran hukum
5.      Dokumen Perjanjian (kontrak)
6.      Keputusan Pengadilan
7.      Keputusan Birokrasi
8.      Segala bentuk dokumen hukum yang dibuat secara formal dan mempunyai kekuatan mengikat

Penelitian hukum normatif akan menkaji objek tersbut dan dikaji dari sistematika berdasar ketaatan pada struktur hukum secara hierarkis untuk memberikan sebuah pendapat hukum dalam bentuk justifikasi (preskriptif) terhadap sebuah peristiwa hukum. Beberapa contoh berikut ini mungkin bisa menjelaskan diskripsi di atas :
1). Misalnya akan meneliti mengenai hubungan buruh dan majikan dalam hukum ketenagakerjaan, maka bisa diamati hubungan hukum yang dibuat dalam perjanjian kerja tersebut, apakah didasarkan pada sebuah kontrak kerja yang benar menurut ketentuan perundangan yang ada?, atau apakah peraturan perundangan yang mengatur ketenagakerjaan telah sesuai dengan asas-asas hukum ketenagakerjaan seperti no work no pay, dan apakah asas-asas tersebut telah sesuai dengan nilai- nilai keadilan sosial yang terdapat dalam Pancasila sebagai norma dasar sistem hukum di Indonesia?
2). Jika mengamati Perda sebuah Kabupaten yang mengatur tentang pungutan dan retribusi misalnya, apakah Perda tersebut tidak bertentang dengan peraturan perundangan di atasnya seperti Keputusan Menteri, Instruksi Presiden dan Undang-undang yang terkait dengan pungutan dan atau  kewenangan daerah?
  1. Dalam hukum perusahaan misalnya, Apakah kontrak kerjasama yang dibuat antara satu perusahaan dengan perusahaan lain sudah sesuai dengan asas hukum perjanjian serta tidak melanggar keputusan direksi dan Putusan Rapat Umum Pemegang Saham atau Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga perusahaan serta peraturan perundagan yang terkait?
  2. Dapat juga diamati apakah mahalnya biaya sekolah yang ditetapkan oleh Keputusan Rektor sebuah Perguruan Tinggi sudah sesuai dengan hak atas pendidikan bagi warga negara dan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional?
  3. Dalam sebuah penelitian yang mengkaji tentang apakah prinsip untuk kepentingan umum dari fungsi sosial atas tanah dalam rumusan peraturan perundangan tidak melanggar asas kepastian hukum dalam perlindungan hak milik perseorangan?
  4. Dalam dunia peradilan misalnya, apakah putusan hakim dalam kasus mega korupsi sudah sesuai dengan nilai keadilan berdasarkan Undang Undang Anti Korupsi dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana?
Objek Kajian dari penelitian hukum normatif selalu bersumber dari sistem norma yang seluruh bahannya “dianggap” telah tersedia, sehingga tidak perlu untuk mencari informasi tambahan yang bukan dari sumber tersebut. Hal ini perlu dijadikan pedoman untuk dijadikan batasan yang jelas.
Hal yang seringkali bisa menimbulkan kesalahan bagi peneliti ketika melakukan penelitian adalah mencampuradukan antara norma dengan perilaku.  Intinya penelitian hukum normatif berhenti pada penelitian mengenai sistem norma saja dan tidak mengkaji mengenai perilaku seseorang atau lembaga dalam melaksanakan atau menjalankan norma tersebut.


b.      Hasil dan Manfaat Penelitian Hukum Normatif
Beberapa hasil dan manfaat dari penelitian hukum normatif adalah :
1.    Menentukan hubungan dan status hukum para pihak dalam sebuah peristiwa hukum;
2.    Memberikan penilaian (justifikasi) hukum terhadap suatu peristiwa hukum. Apakah salah ,benar atau apa yang sebaiknya menurut hukum;
3.    Meluruskan dan menjaga konsistensi dari sistem norma terhadap , norma dasar, asas-asas,doktrin, kontrak  serta peraturan perundangan yang berlaku atau yang akan diberlakukan.
c.       Bahan Hukum dalam Penelitian Hukum Normatif
Dalam penelitian selalu diperlukan bahan atau data yang akan dicari kemudian diolah dan selanjutnya dianalisis untuk mencari jawaban dari permasalahan penelitian yang diajukan. Beberapa ahli berbeda pendapat dalam penggunaan kata untuk memberikan peristilahan terhadap materi tersebut. Soerjono Soekanto menggunakan istilah data sekunder atau data kepustakaan yang di dalamnya mengandung bahan hukum, sementara Peter Mahmud tidak menggunakan istilah data, namun langsung mengatakan sebagai bahan hukum. Pemilihan peristilahan ini bukannya tanpa alasan, menurut beliau memang harus dibedakan antara bahan dengan data, yaitu :
1.    Istilah bahan adalah terjemahan dari bahasa Inggris yang disebut material. Sementara data lebih bersifat informasi. Dalam penelitian normatif, sistem hukum dianggap telah mempunyai seluruh material/bahan, sehingga tidak perlu dicari keluar dari sistem norma tersebut. Sedangkan data adalah informasi yang harus dicari  ke “luar” dari sistem
2.    Bahan digunakan untuk istilah bagi sesuatu yang normatif dokumentatif, bahan penelitian hukum dicari dengan cara penelitian kepustakaan (temasuk wawancara dengan narasumber),   sementara data digunakan untuk sesuatu yang informatif empiris dalam penelitian yuridis empiris yang harus dicari melalui pengamatan atau observasi ke dunia nyata.
Bahan hukum atau data sekunder diperinci dalam berbagai macam tingkatan, yaitu :
1.    Bahan hukum primer, bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundangan, risalah resmi, putusan pengadilan dan dokumen resmi negara
2.    Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang terdiri atas buku atau jurnal hukum yang berisi mengenai prinsip- prinsip dasar (asas hukum), pandangan para ahli hukum (doktrin), hasil penelitian hukum, kamus hukum dan ensiklopedia hukum. Wawancara dengan nara sumber seorang ahli hukum untuk memberikan pendapat hukum tentang suatu fenomena bisa diartikan sebagai bahan hukum sekunder. Namun demikian perlu dilihat kapasitas keilmuan dan seyogyanya tidak terlibat dengan kejadian tersebut agar komentar yang diberikan menjadi obyektif.
3.    Bahan non hukum adalah bahan penelitian yang terdiri atas buku teks bukan hukum yang terkait dengan penelitian seperti buku politik, buku ekonomi, data sensus, laporan tahunan perusahaan, kamus bahasa dan ensiklopedia umum. Bahan ini menjadi penting karena mendukung dalam proses analisis hukumnya. Misalnya dalam penelitian mengenai hukum perusahaan, akan lebih baik orang juga belajar mengenai buku manajemen perusahaan, standarisasi laporan keuangan dan program kepemimpinan.[26]
Baberapa ahli menggunakan istilah bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang terdiri atas kamus dan ensiklopedia. Tetapi sangat dianjurkan untuk sebaiknya menggunakan istilah bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum seperti di atas, karena lebih jelas perbedaan atas kualitas dan muatannya.
MODUL 3

HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTARA HUKUM DENGAN STRUKTUR SOSIAL DAN DINAMIKA SOSIAL


A.  Hukum Dan Struktur Sosial

1.    Definisi Struktur Sosial
Secara harfiah, struktur bisa diartikan sebagai susunan atau bentuk. Struktur tidak harus dalam bentuk fisik, ada pula struktur yang berkaitan dengan sosial. Menurut ilmu sosiologi, struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Susunannya bisa vertikal atau horizontal. Mengenai istilah struktur sosial di kalangan ahli di Indonesia memang belum ada kesepakatan untuk menentukan secara pasti tentang definisinya. Sebagian para ahli menganggap struktur sosial identik dengan penggambaran tentang suatu lembaga sosial, sebagian lain menggambarkan struktur sosial sebagai   istilah pranata sosial, bangunan sosial dan lembaga kemasyarakatan.
Dalam antropologi sosial, konsep struktur sosial sering di anggap sama dengan organisasi sosial, terutama apabila dihubungkan dengan masalah kekerabatan dan kelembagaan atau hukum pada masyarakat yang tergolong bersahaja. Menurut Firth (Soerjono Soekanto:1983), bahwa organisasi sosial berkaitan dengan pilihan dan keputusan dalam hubungan-hubungan sosial aktual. Struktur sosial mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang lebih fundamental yang memberikan bentuk dasar pada masyarakat, yang memberikan batas-batas pada aksi-aksi yang mungkin di lakukan secara organisatoris. Sedangkan E.R Leach menetapkan konsep tersebut pada cita-cita tentang distribusi kekuasan diantara orang-orang dan kelompok-kelompok.[27]
Dari pendapat tersebut dapat di artikan bahwa struktur sosial mencakup berbagai hubungan sosial antara individu-individu secara teratur pada waktu tertentu yang merupakan keadaan statis dari suatu sistem sosial. Jadi struktur sosial tidak hanya mengandung unsur kebudayaan belaka, melainkan skaligus mencakup seluruh prisip-prinsip hubungan-hubungan sosial yang bersifat tetap dan stabil.
Dalam sosiologi, struktur sosial sering di gunakan untuk menjelaskan tentang keteraturan sosial, yang menunjuk pada prinsip perilaku yang berulang ulang dengan bentuk dan cara yang sama. Secara sosiometris kadang-kadang dapat diartikan sebagai konsep psikologis hubungan-hubungan sejumlah anggota dalam krlompok kecil. Menurut Soerjono Soekamto (1983), bahwa struktur sosial dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dan antara peranan-peranan Interaksi dalam sistem sosial di kosepkan secara terperinci dengan menjabarkan tentang manusia yang menempati posisi-posisi dan melaksanakan peranannya (dalam sosiologi disebut sebagai pendekatan struktural-fungsional). Sedangkan Parso memandang struktur sosial sebagai aspek yang relatif lebih statis dari pada aspek fungsional dalam sistem sosial.
Dengan demikian, pengertian maka secara singkat struktur sosial dapat didefinisikan sebagai tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan perilaku, sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat.[28]
2.    Ciri-Ciri Struktur Sosial
Untuk lebih jelasnya di bawah ini di jelaskan beberapa ciri umum dari struktur sosial :
a.    Struktur sosial mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang pokok yang dapat memberikan bentuk dasar pada masyarakat memberikan batas-batas pada aksi-aksi yang kemungkinan besar di lakukan secara organisatoris. Konsep struktur sosial di terapkan pada totalitas, seperti pada lembaga, kelompok dan proses sosial. Struktur sosial di satu pihak dapat berupa hubungan-hubungan sosial antar anggota kelompok masyarakat, di pihak lain srtuktur sosial merupakan ketetapan dari pada cita-cita tentang kekuasaan di antara anggota-anggota masyarakat tertentu.
b.    Struktur sosial mencakup semua hubungan sosial antara individi-individu pada saat tertentu. Oleh karena itu maka struktur sosial dapat di sebut sebagai aspek non proses dari sistem sosial, yang pada intinya adalah situasi statis dari sistem sosial. Struktur sosial merupakan kerangka acuan yang utama dalam setiap studi tentang keteraturan hubungan-hubungan masyarakat.
c.    Struktur sosial merupakan seluruh kebudayaan masyarakat yang dapat di lihat dari sudut pandang yang teoritis. Artinya dalam meneliti, setiap meneliti tentang kebudayaan sebaiknya di arahkan pada pemikiran terhadap berbagai derajat dari susunan sosialnya. Dengan demikian struktur sosial dapat di pandang sebagai suatu kenyataan empiris yang ada pada setiap saat terjadi hubungan sosial antar manusia. Struktur sosial merupakan abstraksi dari kenyataan yang menyangkut kurun waktu tertentu yang pada prinsipnya tidak terlepas pada perilaku, perasan dan kepercayaan, di samping menyangkut kehidupan yang aktual.
d.   Struktur sosial merupakan realitas sosial yang bersifat statia atau kenyataan yang membeku sehingga dapat di lihat kerangka tatanan dari berbagai bagian tubuhnya yang berbentuk struktur. Jadi, struktur sosial adalah aspek statia dari suatu proses atau fungsionalisasi dari sistem sosial.
e.    Struktur sosial merupakan tahapan perubahan dan perkembangan masyarakat yang mengandung dua pengertian, yang pertama, di dalam struktur sosial terdapat peranan yang bersifat empiris dalam proses perubahan dan perkembangan. Kedua, dalam setiap perubahan dan perkembangan tersebut terdapat tahap perhentian stabilitas keteraturan dan integrasi sosial yang berkesinambungan sebelum kemudian terancam proses ketidakpuasan dalam tubuh masyarakat. Pada ciri kelima ini dalam sosiologi sering di gunakan untuk melukiskan keteraturan sosial atau keteraturan elemen-elemen dalam kehidupan masyarakat.
Dari ciri-ciri diatas dapat di simpulkan bahwa struktur sosial adalah suatu tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang merupakan jaringan dari pada unsur-unsur sosial yang pokok. Sementara menurut Soerjono Soekanto, unsur-unsur sosial yang pokok adalah sebagai berikut :
a.    Kelompok sosial
b.    Kebudayaan
c.    Lembaga sosial
d.   Stratifikasi sosial
e.    Kekuasaan dan wewenang.[29]

3.      Fungsi Struktur Sosial dalam Kehidupan Masyarakat
Dalam buku sosiologi kelompok dan masalah sosial, di jelaskan bahwa dalam struktur sosial banyak dijumpai berbagai aspek sosial. Dengan struktur sosial, maka secara psikologis anggota masyarakat merasa ada batas-batas tertentu dalam setiap melakukan aktivitasnya, individu dengan setianya menyesuaikan diri dengan ketertiban atau keteraturaan masyarakat yang ada.
Dalam keadaan demikian, norma-norma dan nilia-nilai dalam kemasyarakatan paling tidak berfungsi sebagai pembatas dalam berperilaku agar tidak melanggar norma-norma yang ada. Menurut mayor Polak berfungsi sebagai pengawasan sosial yaitu sebagai penekan-penekan kemungkinan pelanggaran terhadap norma-norma, nilai-nilai, peraturan-peraturan tadi. Sehingga disiplin dalam kelompok cenderung dapat di pertahankan. Tujuan untuk mendisiplinkan kelompok pada dasarnya di dorong oleh suatu keinginan dan semangat persatuan diantara anggota kelompok, kesadaran menerima hukuman dan norma-norma yang berlaku, dan tunduk pada kepentingan dan kesejahteraan kelompok secara keseluruhan.
Menurut pendapat Emile Durkheim bahawa keteraturan itu di sebabkan beberapa faktor pengikatnya yang di tingkatkan menjadi moralitas masyarakat itu adalah antara lain :

a.       Kontrol sosial
b.      Stabilitas keluarga yang besar
c.       Sifat heteroginitas lebih kecil dari pada sifat kolektivitas
Struktur sosial dapat berfungsi sebagai dasar untuk menanamkan disiplin sosial karena aturan disiplinnya berasal dari dalam kelompok sendiri, maka perlakuan pengwasan kelompok sendiri cenderung lebih mudah untuk dapat diterima sebagai kepentingan diri sendiri. Dengan berlakunya proses tersebut maka setiap anggota kelompok akan mendapat pengetahuan dan kesadaran terutama perihal sikap, adat kebiasaan,dan kepercayaaan group feelingnya. Dengan demikian anggota kelompok dapat mengetahui bagaimana cara bersikap dan bertindak sesuai dengan ketentuan dan harapan sehingga kemungkinan perbedaan paham sedikit dapat di kurangi.[30]

1.    Hukum dan Kaidah Sosial

Untuk mengetahui hukum yang berlaku, sebaiknya seseorang menganalisis gejala-gejala hukum dalam masyarakat secara langsung: meneliti proses-proses peradilan, konsepsi-konsepsi hukum yang berlaku dalam masyarakat (semisal tentang keadilan), efektivitas hukum sebagai sarana pengendalian sosial, serta hubungan antara hukum dan perubahan-perubahan sosial.[31]

2.    Hukum dan Lembaga Sosial

Dalam bahasa Inggris di jumpai dua istilah yang mengacu pada pengertianinstitusi (lembaga), yaitu institute dan institution. Istilah pertama menekankan kepada pengertian institusi sebagai sarana dan organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan istilah kedua menekankan pada pengertian institusi sebagai suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan.
Istilah lembaga kemasyarakatan merupakan pengalih bahasaan dari istilah Inggris, social institution. Akan tetapi Soejono Soekanto menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada kata sepakat mengenai istilah Indonesia yang khas dan tepat untuk menjelaskan istilah tersebut. Ada yang mengatakan bahwa padanan yang tepat untuk istilah itu ialah pranata sosial yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat. Pranata sosial yang di tuturkan oleh Koentjaraningrat, adalah suatu sistem tata kelakuan dan tata hubungan yang berpusat pada sejumlah aktivitas masyarakat[32] dengan demikian menurut beliau, lembaga kemasyarakatan ialah sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi kebutuhan. Ahli sosiologi lain berpendapat bahwa ari social institution ialah bangunan sosial.
Pengertian-pengertian social institution yang dikutip oleh Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut. Menurut Robert Mac Iver dan Charles H. Page, social institution ialah tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan. Howard Becker mengartikan social istitution dari sudut fungsinya. Menurutnya ian merupakan jaringan dari proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi meraih dan memelihara kehidupan hidup mereka. Summer melihat social institution dari sisi kebudayaan. Menurut dia, ini merupakan perbuatan, cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan yang mempunyai sifat kekal yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dari paparan singkat mengenai institusi, dapat disimpulkan bahwa institusi mempunyai dua pengertian :
1.    sistem norma yang mengandung arti pranata;
2.    bangunan.
Menurut Summer, sebagaimana dikutip oleh Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi, yaitu an institution consist a concept idea, nation, doctrin, interest and a structure (suatu institisi terdiri atas konsep tentang cita-cita,minat, doktrin, kebutuhan, dan struktur).
Sebagai sebuah norma institusi bersifat mengikat. Ia merupak aturan yang mengatur warga kelompok dimasyarakat. Di samping itu ia pun merupakan pedoman dan tolak ukur untuk membandingkan dan mengukur sesuatu. Norma-norma yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, berubah sesuai dengan keperluan dan kebutuhan manusia. Maka lahirlah umpanya, kelompok norma yang menimbulkan institusi keluarga dan institusi perkawinan; kelompok norma pendidikan yang menghasilkan insstitusi pendidikan;kelompok norma hukum yamg membentuk institusi hukum; seperti peradilan; kelompok norma agam yang membentuk institusi keagamaan.
Dilihat dari daya mengikatnya, secara sosiologis norma-norma tersebut dapat dibedakan menjadi empat macam :
1.      tingkatan cara (usage);
2.      kebiasaan (folkways);
3.      tata kelakuan (mores);
4.      adat istiadat (custom)
Usage menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Kekuatan mengikat norma ini paling lemah dibandingkan dengan ketiga norma yang lainnya. Folkways merupakan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama; menggambarkan bahwa kegiatan tersebut disenabgi banyak orang. Daya ikat norma ini lebih kuat daripada usage;contohnya memberi hormat kepada yang lebih tua. Tidak memberi hormat kepada yang lebih tua dianggap suatu penyimpangan.
Apabila suatu kebiasaan dianggap sebagaicara berprilaku, bahkan dianggap dan diterima sebagai norma pengatur, maka kebiasaan meningkat menjadi tahapan mores. Ia merupakan alat pengawas bagi perilaku masyarakat yang daya ikatnya lebih kuat daipada folkways dan usage. Norma tata kelakuan yang terus menerus dalakukan sehingga integrasinya menjadi sangat kuat dengan pola-pola perilaku masyarakat, daya ikatnya akan lebih kuat dan meningkat ketahapan custom. Dengan demikian, warga masyarakat yang melanggar custom akan menderiata karena mendapat sanksi yang keras dari masyarakat.[33]
Di dalam uraian telah disinggung, bahwa pergaulan hidup dalam masyarakat diatur oleh kaidah-kaidah dengan tujuan untuk mencapai tata tertib. Di dalam perkembangan selanjutnya kaidah tersebut berkelompok-kelompok berbagai keperluan pokok dari kehidupan manusia seperti kebutuhan hidup kekerabatan, kebutuhan pencarian hidup, kebutuhan akan pendidikan, kebutuhan untuk menyatakan keindahan, kebutuhan jasmaniiah diri, manusia, dan lain sebagainya.
Dari contoh yang telah diuraikan dapat diambil suatu kesimpulan bahwa lembaga-lembaga kemayarakatan terdapat didalam setiap masyarakat, karena setiap masyarakat tentu mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok ynag apabila dikelompokkan, terhimpun menjadi lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam berbagai bidan kehidupan.dengan demikian maka suatu lembaga kemasyarakatan merupakan himpuna daripada kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, maka lembaga-lembaga kemasyarakatan mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
1.    Untuk memberikan pedoman kepada masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan pokok.
2.    Untuk menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan
3.    Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial. Dari penjelasan singkat tersebut terlihat nyata, bahwa tidak semua kaidah merupakan lembaga-lembaga kemasyarakatan, hanya yang mengatur kebutuhan pokok saja yang merupakan lembaga kemasyarakatan. Artinya bahwa kaidah-kaidah tersebur harus mengalami proses pelembagaan (institution nalization) terlebih dahulu, yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu kaidah yang baru untuk menjalanu bagian salah satu lembaga kemasyarakatan. Yang dimaksud disini ialah agar kaidah tadi diketahui, dimengerti, ditaati, dan dihargai dalam kehidupan sehari-hari.
Proeses pelembagaan sebenarnya tidak berhenti demikian saja, akan tetapi dapt berlangsung lebih jauh sehingga suatu kaidah tidak saja melembaga akan tetapi bahkan menjiwai bahkan mendarah daging pada masyarakat.

3.    Hukum dan Stratifikasi Sosial

Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka barang sesuatu itu akan menjadi bibit yang akan dapat menumbuhkan adanya sistem yang berlapis-lapis atau stratifikasi sosial dalam masyarakat tersebut. Stratifikasi sosial tersebut dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara hierarkis[34]. Misalnya, masyarakat Bali yang terbagi atas kasta-kasta atau Jakarta (atau tempat-tempat lainnya) ada orang-orang kaya, setengah kaya, dan miskin. Stratifikasi sosial merupakan aspek vertikal dari kehidupan sosial dimana terjadi distribusi yang tidak seimbang dari sandang, pangan, tanah, bahan-bahan mentah, dan seterusnya sehingga adakalanya stratifikasi sosial diidentikkan dengan ketidak seimbangan kekayaan materiil.
Setiap masyrakat memiliki penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakatnya. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal teretntu akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi lainnya. Kalau suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan materi darpada kehormatan, misalnya mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan meteri akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.[35]
Masyarakat merupakan suatu kesatuan yang didasarkan ikatan-ikatan yang sudah teratur dan boleh dikatakan stabil. Sehubungan dengan itu maka dengan sendirinya masyarakat merupakan kesatuan dalam pembentukannya mempunyai gejala yang sama. Seorang Filsuf bangsa Yunani yaitu Aristoteles mengatakan, bahwa di dalam tiap-tiap negara terdapat 3 unsur lapisan masyarakat, yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang berada di tengah-tengahnya dan mereka yang melarat. Ucapan Aristoteles ini membuktikan bahwa terjadinya lapisan-lapisan dalam masyarakat telah ada sejak atau bahkan diduga bahwa zaman sebelumnya telah diakui adanya tingkatan atau lapisan-lapisan di dalam msayarakat.
Pitirm A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul “Socias Stratification” mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu meruapakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Jadi yang diamkasud dengan stratifikasi sosial (Social Stratification) adalah stratification berasal dari Stratum (jamaknya strata yang berarti lapisan). Menurut Pitirm A. Sorokin, bahwa Social Stratification adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam lapisan kelas-kelas secara bertingkat.[36]
Stratifikasi sosial terjadi karena ada sesuatu yang dihargai dalam masyarakat, misalnya harta, kekayaan, ilmu pengetahuan, kesalehan, keturunan, dan lain sebagainya. Stratifikasi sosail akan selalu ada selama dalam masyarakat terdapat sesuatu yang dihargai.[37]
Stratifikasi sosial akan menimbulkan kelas sosial, dimana setiap anggota masyarakat akan menempati kelas sosial sesuai dengan kriteri yang mereka miliki. Kelas sosial adalah golongan yang terbentuk karena adanya perbedaan kedudukan tinggi dan rendah, dan karena adanya rasa segolongan dalam kelas tersebut masing-masing, sehingga kelas yang satu dapat dibedakan dari kelas yang lain (Hasan Sadili, hukum-dan-stratifikasi-sosial-suatu.html). Dasar dan inti dari lapisan-lapisan yang terdapat dalam masyarakat itu adalah ketidakseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban serta tanggung jawab terhadap nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota masyarakat. Pada masyarakat yang kebudayaannya masih sederhana lapisan masyarakat pada mulanya hanya berkisar pada perbedaan antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Kemudian ketika masyarakat sudah berkembang sedemikian rupa, maka lapisan-lapisan dalam masyarakat itu memasuki ke sektor lain, misalnya status seseorang karena ia kaya, mempunyai kepandaian tertentu sehingga ia di tokohkan dalam kelompoknya. Akibat dari stratifikasi sosial ini adalah timbulnya kelas-kelas sosial tertentu dalam masyarakat yang dihargai oleh masyarakat tersebut, sebaliknya ada juga masyarakat yang tidak menghargai lapisan-lapisan tersebut karena mereka menganggap sesuatu yang dimiliki oleh seseorang tidak mempunyai nilai yang berarti baginya.
Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dapat dihargainya, maka hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai itu mungkin juga keturunan dari keluarga yang terhormat. Bagi masyarakat yang tidak mempunyai sesuatu yang berharga dari hal tersebut itu, ada kemungkinan masyarakat lain memandang sebagai masyarakat dengan kedudukan yang rendah. Sesuatu yang berharga dan tidak berharga ini akan membentuk lapisan masyarakat, yaitu adanya masyarakat lapisan atas, lapisan bawah yang jumlahnya ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Lapisan dalam masyarakat ini selalu ada yang jumlahnya banyak sekali dan berbeda-beda, sekalipun dalam masyarakat kapitalis, demokratis, komunis dan sebagainya. Lapisan masyarakat itu ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama dalam organisasi sosial. Semakin kompleks dan semakin majunya perkembangan teknologi sesuatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem lapisan dalam masyarakat.
Terjadinya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat adakalanya terbentuk dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu seperti tingkat umur, kepandaian, dan kekayaan. Adapula yang sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama, hal ini biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang resmi dalam organisasi-organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik angkatan bersenjata atau perkumpulan (Abdul Manan, 2006: 79-80). Dari kelompok-kelompok sosial inilah dapat dimulainya perbuatan yang berasal dari persamaan dan perbedaan dalam cara pandang terhadap suatu peristiwa, keadaan, situasi, dan lingkungan tempat mereka tinggal yang memengaruhi kehidupan mereka dan keadaan ini pula yang dapat memengaruhi adanya suatu perubahan produk hukum.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (Soerjono Soekanto, 1999: 216) ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan adalah pertama: ukuran kekayaan atau kebendaan, siapa yang memiliki kekayaan atau kebendaan yang paling banyak mempunyai peluang untuk memasuki ke dalam lapisan yang paling atas, misalnya dapat dilihat pada bentuk rumah, mobil, gaya hidup yang dimiliki seseorang, kedua: ukuran kehormatan, biasanya ukuran ini terlepas dari ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati akan mendapat tempat teratas dalam kelompoknya dan ukuran seperti ini dapat ditemukan pada kelompok masyarakat tradisional, ketiga: ukuran kekuasaan, barang siapa yang memiliki kekuasaan atau mempunyai wewenang yang besar, ia akan menempati lapisan yang teratas, keempat: ukuran ilmu pengetahuan, dalam kriteria ini ilmu pengetahuan menjadi ukuran utama untuk menempatkan seseorang pada lapisan yang tertinggi. Tentang hal ini sekarang sudah mempunyai banyak menimbulkan efek negatif, sebab ternyata bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi ukuran kesarjanaannya, padahal orang tersebut tidak mempunyai kepintaran sesuai dengan kesarjanaan yang dimilikinya, karena memperolehnya tidak melalui prosedur normal yang ditentukan.
Ukuran tersebut di atas tidaklah bersifat limitatife, sebab masih banyak ukuran lain yang dapat dijadikan kriteria dan ukuran dalam menentukan lapisan-lapisan dalam masyarakat. Akan tetapi ukuran dan kriteria yang disebut disini merupakan ukuran dan kriteria paling menonjol dalam lahirnya lapisan-lapisan dalam kehidupan dalam masyarakat. Selain dari pada itu, ada faktor lain yang juga menentukan dalam mewujudkan sistem berlapis-lapis dalam kehidupan masyarakat yaitu kedudukan (status) dan peranan (role). Kedua hal ini mempunyai arti penting dalam sistem sosial masyarakat karena kedua hal tersebut merupakan pola yang mengatur hubungan timbal balik antara individu-individu tersebut supaya tidak saling bertabrakan satu dengan yang lain. Dalam kaitan hubungan timbal balik ini, kedudukan dan peran harus dapat berfungsi secara baik karena langgengnya kehidupan masyarakat itu harus ada keseimbangan antara kepentingan-kepentingan individu yang tumbuh dalam masyarakat. Agar hal ini dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan hukum yang mengaturnya dan oleh karena itu jika hukum yang lama itu sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masa tersebut maka harus diadakan pembaruan dengan kondisi zaman.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dinamika dalam stratifikasi sosial ditandai dengan adanya lapisan-lapisan kehidupan masyarakat yang tidak statis. Setiap kelompok masyarakat pasti mengalami perkembangan dan perubahan, yang membedakannya adalah dalam cara perubahan itu, yaitu ada yang perubahan itu terjadi sangat lambat dan ada pula perubahannya yang sangat cepat, ada yang direncanakan dan ada pula yang tidak di rencanakan, ada pula perubahan itu di kehendaki dan ada pula yang tidak dikehendaki. Pada umumnya perubahan itu terjadi sebagai akibat pengaruh reformasi dari pola-pola yang ada dalam kelompok sosial yang sudah mapan. Perubahan sebagai akibat dari pengaruh luar pada umumnya berupa perubahan keadaan dimana kelompok masyarakat itu tinggal. (Al Fitri, Aspek Pengubah Hukum dari Perspektif Sosial Budaya).
Jadi, dari uaraian di atas dapat dikatakan bahwa stratifikasi sosial adalah pelapisan atau tingkatan secara vertikal yang ada dalam masyarakat yang terkadang disebebkan oleh faktor ekonomi, kekuasaan dan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.

B.  Hukum dan Dinamika Sosial

1.    Hukum dan Proses Sosial/Interaksi Sosial

Proses sosial adalah hubungan pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama.[38] Adapun menurut Soerjono Soekanto proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang peroarangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menemukan sistem serata bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang telah ada. Pengeretian ini sangat luas karena mencakup hal yang nyata dan tidak nyata, proses sosial menjadi hal yang penting dalam pembahasan sosiologi karena pengetahuan tentang struktur masyarakat saja tidak cukup untuk memperoleh gambaran nyata mengenai kehidupan bersama manusia. Bahkan Tamotsu Shibutani menyatakan bahwa soisologi mempelajari transaksi-transaksi sosial yang mencakup usaha-usaha kerjasama antara para pihak, karena segala kegiatan manusia didasarkan pada gotong royong.[39]
Untuk mengkaji interaksi sosial, maka dapat dilihat dari beberapa hal, di antaranya :
2.      Sebab Terjadinya Interaksi Sosial
Berlangsungnya suatu proses interaksi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
a.    Imitasi, salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku
b.    Sugesti, faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain.
c.    Identifikasi, sebenarnya merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.
d.   Proses simpati, sebenarnya merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya.[40]
e.    Kontak Sosial Ssebagai Syarat Interaksi Sosial. Sebuah interaksi sosial tidak akan terjadi apabila tidak memenuhi 2 syarat berikut, yaitu kontrak sosial dan komunikasi.[41]
Kata kontak berasal dari bahasa latin con atau cum (yang artinya bersama-sama) dan tango (yang artinya menyentuh), jadi secara harfiah berarti sama-sama menyentuh. Kemudian dalam kerangka sosiologi dipahami sebagai suatu hubungan yang terjadi antara individu atau kelompok dengan tidak dibatasi pada hubungan seperti berbicara. Bahkan dengan kemajuan teknologi manusia dapat berhubungan melalui alat-alat elektronik. Kontak sosial dapat berhubungan langsung dalan tiga bentuk, yaitu:
1.    Antar oarng perorangan, misalnya apabila anak kecil mempelajari kebiasaan-kebiasaan dalam keluarganya, proses demikian terjadi melalui sosialisasi (sosialization), yaitu proses, dimana anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana ia menjadi anggota.
2.    Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia tau sebaliknya. Misalnya apabila suatu partai politik memaksa anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan ideologi dan programnya.
3.    Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya. Misalnya dua partai politik bekerjasama untuk mengalahkan partai politik yang ketiga dalam pemilihan umum.[42]

Suatu kontak dapat bersifat positif atau negatif, dapat pula bersifat primer atau sekunder, dikatakan positif apabila dari kontak tersebut menghasilkan atau mencapai tujuan dan bersifat negatif apabila sebaliknya. Adapun dikatakan primer apabila yang mengadakan hubungan bertemu langsung dan bersifat sekunder apabila sebaliknya.
f.     Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
Bentuk interaksi sosial dapat berupa sebagi berikut :
1.    Kerja sama (Cooperation)
2.    Akomodasi (Accommodation)
3.    Persaingan (Competition)
4.    Pertikaian (Conflik).[43]

Konflik selalu menuju suatu penyelesaian, namun dalam prosesnya dapat berkondisi sementara, yang disebut akomodasi, ada yang mengganggap akomodasi sebagai salah satu bentuk interaksi sosial.
g.    Bentuk-bentuk Proses Sosial
Gillin dan Gillin menggolongkannya secara lebih luas, mereka membagi proses sosial yang timbul akibat interaksi sosial ke dalam 2 kelompok, yaitu :
1.    Proses yang asosiatif (Proseses of association) yang terbagi kedalam tiga bentuk khusus, yaitu :
a. Akomodasi
b. Asimilasi
c. Akulturasi

2.    Proses yang disasosiatif (Proseses of disassociation) yang mencangkup :
a.    Persaingan
b.    Persaingan yang mencangkup kontravensi dan pertentangan atau pertikaian (conflict).[44]
Adapun bentuk-bentuk proses sosial menurut Kimball Young :
1)   Oposisi (Opposisition) yang mencangkup persaingan, pertentangan dan pertikaian.
2)   Kerjasama (Cooperation) yang menghasilkan akomodasi, dan 
3)   Direrensisi (Differentiation) yang menghasilkan suatu proses dimana setiap orang dalam masyarakat memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berbeda dalam masyarakat atas perbedaan usia, seks dan pekerjaan.[45]
3.         Hukum dan Kebudayaan

Hukum sangat berkaitan erat dengan kebudayaan. Hukum sendiri merupakan produk kebudayaan, karena sejatinya produk hukum adalah produk ciptaan manusia. Dalam studi hukum dikenal struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Hukum diciptakan memiliki karakteristik yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lainnya sesuai dengan kebudayaan setempat. Artinya, kebudayaan membentuk hukum. Menurut Satjipto Raharjo, hukum itu bukanlah skema yang final, tetapi terus bergerak sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman umat manusia. Artinya, hukum akan terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan dinamika manusia ini terlahir dalam proses kebudayaan yang berbeda.[46]
Kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat terlibat dalam hal pembentukan hukum. Di Indonesia dikenal adanya masyarakat Hukum Adat yang jumlahnya sangat banyak. Perkembangan kebudayaan dan hukum menciptakan suatu subjek hukum yang bernama Hukum Adat.  Dalam Pendidikan Tinggi hukum, terdapat mata kuliah yang kaitannya dengan Hukum, Masyarakat, dan Kebudayaan: Hukum Adat, Antropologi Hukum, Hukum dan Masyarakat, dan Sosiologi Hukum.  Mata kuliah-mata kuliah inilah adalah awal pengenalan mahasiswa hukum terhadap hubungan dari hukum dan kebudayaan.
Kita mengenal konsepsi hukum sebagai bentuk dari peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang hadir dalam masyarakat. Peraturan-peraturan ini mengandung norma dan nilai di dalamnya. Kebudayaan hukum juga bersumber dari kekuasaan karena  setiap sanksi yang dibuat di dalam hukum tidak terlepas dari ikut campur peran penguasa. Sudikno Mertokusumo mengungkapkan bahwa hakikat kekuasaan tidak lain adalah kemampuan seorang untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain dan penegakan hukum dalam hal ada pelanggaran adalah monopoli penguasa.[47]
Hukum yang lahir dari kebudayaan merupakan suatu proses hukum yang lahir dengan cara bottom-up (dari bawah keatas), dari akar rumput masyarakat, dari kaidah-kaidah kepercayaan, spiritual, dan kaidah sosial yang ada di masyarakat menjadi suatu hukum yang berlaku. Hukum Adat juga demikian, ada karena budaya di masyarakat yang membangunnya. Bahwa Hukum Adat antara masyarakat Jawa, masyarakat Minang, masyarakat Bugis dan masyarakat Aceh adalah berbeda. Ini adalah suatu konsep pluralisme hukum (legal pluralism) dimana hukum hadir dalam bentuk kemajemukan kebudayaan.




MODUL 4
HUKUM DAN MASYARAKAT

A.  Hukum Sebagai Kontrol Sosial

Dalam memandang hukum sebagai alat kontrol sosial manusia, maka hukum merupakan salah satu alat pengendali sosial. Alat lain masih ada sebab masih saja diakui keberadaan pranata sosial lainnya (misalnya keyakinan, kesusilaan). Kontrol sosial merupakan aspek normatif kehidupan sosial. Hal itu bahkan dapat dinyatakan sebagai pemberi defenisi tingkahg laku yang menyimpang dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, seperti berbagai larangan, tuntutan, dan pemberian ganti rugi.
Hukum sebagai alat kontrol sosial memberikan arti bahwa ia merupakan sesuatu yang dapat menetapkan tingkah laku manusia. Tingkah laku ini dapat didefenisikan sebagai sesuatu yang menyimpang terhadap aturan hukum. Sebagai akibatnya, hukum dapat memberikan sangsi atau tindakan terhadap si pelanggar. Karena itu, hukum pun menetapkan sanksi yang harus diterima oleh pelakunya. Ini sekaligus berarti bahwa hukum mengarahkan agar masyarakat berbuat secara benar menurut aturan sehingga ketentraman terwujud.
Seperti diketahui bahwa di dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat berbagai kepentingan dari warganya. Di antara kepentingan itu ada yang bisa selaras dengan kepentingan yang lain, tetapi ada juga kepentingan yang memicu konflik dengan kepentingan yang lain. Untuk keperluan tersebut, hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai tujuannya. Fungsi utama hukum adalah untuk melindungi kepentingan yang ada dalam masyarakat. Menurut Roscoe Pound : ada tiga kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu : public interest; individual interest; dan interest of personality.[48]
Dalam pembicaraan mengenai fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial adalah dalam tahapan kedudukan hukum untuk melakukan pengedalian terhadap tingkah laku masyarakat didalam pergaulannya. Pengendalian social terjadi dalam tiga taraf yakni :
1.    kelompok terhadap kelompok
2.    kelompok terhadap anggotanya
3.    pribadi terhadap pribadi, yang artinya posisi hukum sebagai social control  atau pengendali masyarakat adalah agar masyarakat dalam pergaulannya tetap dalam koridor yang telah ditentukan hukum sebelumnya.
Ada indikator tertentu dalam hukum melakukan pengendalian terhadap masyarakat. Sehingga bentuk hukum yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat amat-lah menentukan bagaimana nantinya masyarakat sebagai realitas dapat melaksanakan aktivitas dalam pergaulan hidup.
Arti dari social control sendiri sebenarnya adalah mengatur tindakan masyarakat yang sekarang dan mungkin yang akan datang melihat dari kebiasaan (hukum) yang telah terjadi sebelumnya. Atau tingkah laku masyarakat yang sekarang dan mungkin yang akan datang dibatasi dengan hukum yang dirumuskan dari tingkah laku masyarakat sebelumya.
Dalam penjelasan yang demikian tidak memperlihatkan posisi yang sebenarnya dari pengaruh hukum terhadap masyarakat, hukum dalam konteks social enginering masih membicarakan peran masyarakat terhadap hukum yang ada, karena dalam perumusan hukum yang sekarang (hukum positif) tetap dipengaruhi oleh keadaan masyarakat yang ada.[49]
B.  Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat

Apabila ditilik dari proses perkembangan hukum dalam sejarah terhadap hubungan dengan eksistensi dan peranan dari kesadaran hukum masyarakat ini dalam tubuh hukum positif, terdapat suatu proses pasang surut dalam bentangan waktu yang teramat panjang. Hukum hukum masyarakat primitif, jelas merupakan hukum yang sangat berpengaruh, bahkan secara total merupkan penjelmaan dari hukum masysarakatnya.
Kemudian, ketika berkembangnya paham scholastic yang di percaya. Hukum berasal dari tahun (abad pertengahan) dan berkembang mazhab hukum alam modern (abad ke- 18 dan ke-19), mengultuskan rasio manusia, eksistensi dan peranan kesadaran, sangat kecil dalam hal ini, kesadaran hukum tidk penting lagi bagi hukum dan yang terpenting adalah titah tuhan sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab suci (mazhab scholastik) atau hasil renungan manusia dengan menyesuaikan rasionya. (Mazhab hukum alam modern) selanjutnya, ketika berkembangnya paham-paham sosiologi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang masuk juga kedalam bidang hukum.[50]
Masalah kesadaran hukum masyarakat mulai lagi berperan dalam pembentukan, penerapan dan penganalisaan hukum. Dengan demikian, terhadap hukum dalam masyarakat maju berlaku ajaran yang disebut dengan co-variant theory. Teori ini mengajarkan bahwa ada kecocokan antara hukum dan bentuk-bentuk prilaku hukum. Di samping itu berlaku juga doktrin volksgeist (jiwa bangsa) dan rechtsbemu stzijn (kesadaran hukum) sebagaimana yang diajarkan oleh Eugen Ehrlich. Misalnya doktrin-doktrin tersebut mengajarkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan jiwa bangsa atau kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum dipandang sebagai mediator antara hukum dan bentuk-bentuk prilaku manusia dalam masyarakat.
Hukum adalah pegangan yang pasti, positif, dan pengarah bagi tujuan-tujuan program suatu pemerintahan yang akan dicapai. Semua aspek kehidupan dan kesosialan harus diatur dan harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum, sehingga dapat tercipta masyarakat yang teratur, tertib dan berbudaya disiplin. Hukum dipandang selain sebagai sarana pengaturan ketertiban rakyat (a tool of social order) tetapi juga dipandang sebagai sarana untuk memperbaharui dan mengubah masyarakat ke arah hidup yang lebih baik (as a tool of social engineering).
Sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang dikemukakan oleh Roscoe Pound “as a tool of social engineering”. Perubahan masyarakat yang dimaksud terjadi bila seseorang atau sekelompok orang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan tersebut memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan di dalam melaksanakan hal itu langsung berkaitan dengan tekanan-tekanan untuk melakukan perubahan, dan mungkin pula menyebabkan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga lainnya.[51]
Terbentuknya hukum sangat berpengaruh bagi kelangsungan sebuah sistem kesosialan masyarakat. Hukum itu bersifat terikat terhadap setiap individu. Dengan adanya hukum yang terikat, segala bentuk kegiatan masyarakat, baik itu yang positif maupun negatif akan terkontrol oleh adanya hukum. Tindakan masyarakat akan terus mengalami perubahan, apabila masyarakat tersebut melakukan sebuah tindakan negatif yang bertentangan dengan hukum yang telah terbentuk. Pelanggaran terhadap hukum, akan mengakibatkan masyarakat mendapat beberapa sanksi tegas, sehingga sedikit demi sedikit kedisiplinan akan kepatuhan masyarakat akan terbentuk.
Hukum itu lahir oleh manusia dan untuk menjamin kepentingan dan hak-hak manusia sendiri. Dari manusia inilah warna hukum dan terapannya akan menentukan apa yang dialami manusia dalam pergaulan hidup.[52] Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat dalam arti bahwa hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change. Agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin lembaga-lembaga kemasyarakatan. Suatu perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut.
Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan yang dikehendaki walaupun secara tidak langsung. Oleh sebab itu apabila pemerintah ingin membentuk badan-badan yang berfungsi untuk mengubah masyarakat, maka hukum diperlukan untuk membentuk badan tadi serta untuk menentukan dan membatasi kekuasaannya.[53]

C.  Hukum dan Perilaku Masyarakat

Sebagai social engineering, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masayrakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah di tetapkan sebelumnya. Kalau hokum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja. Selain pengetahuan yang manatap tentang sifat hakikat hokum, juga perlu diketahui adalah batas-batas di dalam penggunaan hokum sebagai sarana (untuk mengubah ataupun mengatur perikelakuan warga masyarakat).
Suatu contoh, perihal komunikasi hukum. Kiranya sudah jelas, supaya hokum benar-benar dapat mempengaruhi perikelakuan warga masyarakat, maka hokum tadi harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarakat bagi penyebaran serta pelembagaan hokum. Komunikasi hokum dapat dilakukan secara formal, yaitu melalui suatu tata cara yang terorganisasikan dengan resmi. Di samping itu, ada juga tata cara informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hokum sebagai sarana pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini lah yang dinamakan difusi.
Masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok, yang di dalam kehidupannya berkaitan secara langsung dengan penentuan pilihan terhadap apa yang ada di dalam lingkungan sekitarnya. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukan, dibatasi oleh suatu kerangkan tertentu. Artinya, kalau dia sampai melampaui batas-batas yang ada, maka mungkin dia menderita; sebaliknya, kalau dia tetap berada di dalam batas-batas tertentu, maka dia akan mendapat imbalan-imbalan tertentu pula.
Apakah yang akan dipilih oleh pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok, tergantung pada factor-faktor fisik, psikologis, dan sosial. Di dalam suatu masyarakat di mana interaksi social menjadi intinya, maka perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak lain, merupakan hal yang sangat menentukan. Akan tetapi, walaupun manusia selalu memilih, ada kecenderungan bahwa dia mengadakan pilihan-pilihan yang sama, secara berulang-ulang atau teratur. Hal ini disebabkan oleh karena manusia pribadi tadi menduduki posisi-posisi tertentu dalam masyarakat dan peranannya pada posisi tersebut ditentukan oleh kaidah-kaidah tertentu. Selain daripada itu, peranannya huga tergantung dan ditentukan oleh berperannya pihak-pihak lain di dalam posisinya masing-masing. Selanjutnya, hal itu juga dibatasi oleh pihak-pihak yang mengawasi dan memberikan reaksi terhadap peranannya, maupun kemampuan serta kepribadian manusia. Pribadi-pribadi yang memilih, melakukan hal itu, oleh karena dia percaya bahwa dia menghayati perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak lain, dan bagaimana reaksi pihak-pihak lain terhadap perikelakuannya. Oleh karena itu, untuk menjelaskan mengapa seseorang menentukan pilihan-pilihan tertentu, maka harus pula dipertimbangkan anggapan-anggapan tentang apa yang harus dilakukannya atau tidak harus dilakukan maupun anggapan tentang yang harus dilakukan oleh lingkungannya. Inilah yang merupakan struktur normative yang terdapat pada diri pribadi manusia, yang sekaligus merupakan potensi di dalam dirinya, untuk dapat mengubah perikelakuannya, melaui perubahan-perubahan terencana di dalam wujud penggunaan kaidah-kaidah hokum sebagai sarana. Dengan demikian, maka pokok di dalam proses purabahan perikelakuan melaui kaidah-kaidah hokum adalah konsepsi-konsepsi tentang kaidah, peranan dan sarana maupun cara untuk mengusahakan adanya konformitas.
Pribadi yang mempunyai peranan dinamakan pemegang peranan (role occupant) dan perikelakuannya adalah berperannya pemegang peranan tadi, dapat sesuai atau mungkin berlawanan dengan yang ditentukan di dalam kaidah-kaidah. Konsepsi sosiologis tersebut mungkin akan lebih jelas bagi kalangan hokum, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa hokum. Pemegang peranan adalah subyek hokum, sedangkan peranan merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan hukum.











MODUL 5
KONSEP SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

A.  Konsep Al-Mashlahah Mursalah
1.    Pengertian Maslahah Mursalah
Pengertian mashlahah mursalah ialah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ suatu hukum untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil syara’ yang memerintahkan untuk memperhatikannya atau mengabaikannya. Misalnya mengadakan lembaga pemasyarakatan (penjara), mencetak mata uang sebagai alat pertukaran resmi dari suatu negara dan membiarkan tanah-tanah agraria yang terdapat di daerah-daerah yang telah dikuasai oleh kaum muslimin tetap berada di tangan pemiliknya semula dengan ketentuan mereka dikenakan kewajiban bayar pajak atau kewajiban-kewajiban yang lain.
Kemaslahatan-kemaslahatan yang telah dijelmakan ke dalam hukum-hukum untuk mendukung terealisirnya kemaslahatan itu dan dalam fungsinya sebagai illat hukum, oleh para ahli ushul disebut maslahah mu’tabarah (kemaslahatan yang diperhatikan).[54]
2. Kehujjahan Mashlahah Mursalah
            Jumhur ulama menetapkan bahwa maslahah mursalah itu adalah sebagai dalil syara’ yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu hukum. Alasan yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut :
a.    Kemaslahatan manusia itu terus berkembang dan bertambah mengikuti perkembangan kebutuhan manusia. Seandainya kemaslahatan-kemaslahatan yang berkembang itu tidak diperhatikan, sedang yang diperhatikan hanyalah kemaslahatan yanga ada nashnya saja, niscaya banyaknya kemaslahatan-kemaslahatan manusia yang terdapat dibeberapa daerah dan pada masa yang berbeda-beda akan mengalami kekosongan hukum dan syari’at sendiri tidak dapat mengikuti perkembangan kemaslahatan manusia. Padahal tujuan syari’at itu adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di setiap tempat dan masa.
b.    Menurut penyelidikan bahwa hukum-hukum, putusan-putusan dan peraturan-peraturan yang diprodusir oleh para sahabat, tabi’in dan imam-imam mujtahidin adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.[55]  

3.    Syarat-syarat Berhujjah Dengan Mashlahah Mursalah
            Untuk menjadikan mashlahah mursalah sebagai hujjah harus memenuhi tiga syarat, yakni :
a.    Mashlahat tersebut haruslah mashlahat hakiki (sejati), bukan yang hanya berdasarakan wahm (perkiraan) saja. Artinya bahwa membina hukum berdasarkan kemaslahatan itu haruslah benar-benar dapat membawa kemanfaatan dan menolak kemudharatan. Akan tetapi kalau hanya sekedar berdasarkan perkiraan akan adanya kemanfaatan dengan tidak mempertimbangkan kemudharatan yang bakal timbul, maka pembinaan hukum yang semacam itu adalah berdasarkan wahm saja dan tidak dibenarkan oleh syari’at. Misalnya menyerahkan hak mentalaq seorang isteri kepada hakim dalam semua keadaan, yang sebenarnya mentalaq itu adalah di tangan suami.
b.    Kemashlahatan itu hendaknya kemashlahatan yang umum, bukan kemashlahatan yang khusus untuk perseorangan. Karena itu harus dapat dimanfaatkan oleh orang banyak atau dapat menolak kemudharatan yang menimpa kepada orang banyak.
c.    Kemashlahatan itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar yang telah digariskan oleh nash atau ijma’. Oleh karena itu tidak dianggap suat kemashlahatan mempersamakan anak laki-laki dengan anak perempuan dalam menerima warisan. Karena yang demikian itu bertentangan dengan dasar yang telah ditetapkan oleh syara’.[56]
B.  Tujuan Hukum Islam

            Secara umum tujuan hukum Islam dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di hari yang baqa (kekal) kelak. Ini berdasarkan Firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Anbiya ayat 107, yakni :
Artinya : Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.S. Al-Anbiya’ : 107)
            Jika dipelajari secara seksama ketetapan Allah dan Rasul-Nya yang terdapat di dalam Al-Quran dan kitab-kitab Hadits yang sahih, segera dapat diketahui tujuan hukum Islam. Sering di rumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.
            Dengan kata lain, tujuan Hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak.[57]
            Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan hukum islam, yakni :
1.    Memelihara Agama

            Pemeliharan agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya adalah karena agama merupakan pedoman hidup manusia, dan didalam Agama Islam selain komponen-komponen akidah yang merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat juga syariat yang merupakan sikap hidup seorang muslim baik dalam berrhubungan dengan Tuhannya maupun dalam berhubungan dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Karena itulah maka hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakinannya.
            Beragama merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi karena agamalah yang dapat menyentuh nurani manusia. Allah memerintahkan kita untuk tetap berusaha menegakkan agama, firman-Nya dalam surat Asy-Syura’ Ayat 13 :

Artinya : Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (Q.S. Asy-Syura : 13)

2.    Memelihara Jiwa

            Untuk tujuan ini, Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukumanQisas (pembalasan yang setimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan, berpikir panjang karena apabila orang yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati atau jika orang yang dibunih itu tidak mati tetap hanya cedera, maka si pelakunya juga akan cedera.
            Mengenai hal ini dapat kita jumpai dalam firman Allah Swt dalam Surat Al-Baqarah ayat 178-179 yang berbunyi :

Artinya :  Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (Q.S. Al-Baqarah : 178)

Artinya : Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah : 179)

3.    Menjaga Akal

            Manusia adalah makhluk Allah Swt. Ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Pertama, Allah Swt telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik, di bandingkan dengan bentuk makhluk-makhluk lain dari berbagai makhluk lain.[58]
            Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Swt sendiri dalam Al-Quran At-Tiin Ayat 4 berbunyi :
 
Artinya : Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Q.S. At-Tiin : 4)
4.    Memelihara Keturunan
            Untuk ini islam mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan pencampuran antara dua manusia yang belainan jenis itu tidak dianggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Malahan tidak melarang itu saja, tetapi juga melarang hal-hal yang dapat membawa kepada zina.
            Sesuai dengan Firman Allah Swt. dalam Q.S An-Nisa ayat 3 dan  4 yang berbunyi :


Arinya :  Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q. S. An-Nisa’ : 3)


Arinya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa’ : 4)

5.    Memelihara harta benda dan kehormatan, yang kemudian disepakati oleh ilmuan Hukum Islam lainnya.[59]
            Meskipun pada hakekatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia itu manusia snagt tamak kepada harta benda, sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk ini Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya, harta yang dirusak oleh anak-anak yang dibawah tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh binatang peliharaannya sekalipun.
            Kelima tujuan hukum Islam tersebut di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al khamsah atau al-maqasid al- shari’ah sedangkan tujuan hukum Islam tersebut dapat dilihat dari dua segi yakni :
1.      Segi pembuat Hukum Islam yaitu Allah dan Rasul-Nya.
2.      Segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam itu.

Jika dilihat dari pembuat hukum islam tujuan hukum Islam itu adalah
a.    Untuk memelihara keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, dan tersier, yang dalam kepustakaan hukum Islam masing-masing disebut dengan istilah  daruriyyathajjiyat  dan tahsniyyat. Kebutuhan primer  adalah kebutuhan utama yang harus dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya oleh hukum Islam agar kemaslahatan hidup manusia benar-benar terwujud. Kebutuahan sekunder adalah kebutuhan yang diperluakn untuk mencapai kehidupan primer, seperti kemerdekaan, persamaan, dan sebagaianya, yang bersifat menunjang eksistensi kebutuahan primer. Kebutuahn tersier adalah kebutuhan hidup manusia selain yang bersifat primer dan sekunder itu yang perlu diadakan dan dipelihara untuk kebaikan hidup manusia dalam masyarakat, misalnya sandang, pangan, perumahan dan lain-lain.
b.    Tujuan hukum Islam adalah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
c.    Agar dapat ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan benar, manusia wajib meningkatkan kemampuannya untuk memahami hukum Islam dengan mempelajari Ushul Fiqh yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam sebagai metodologinya.[60]
            Disamping itu dari segi pelaku hukum Islam yakni manusia sendiri, tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Caranya adalah, dengan mengambil yang bermanfaat, mencegah atau menolak yang mudarat bagi kehidupan. Dengan kata lain tujuan hakiki hukum Isalm, jika dirumuskan secara umum, adalah tercapainya keridaan Allah dalam kehidupan manusia di bumi ini dan di akhirat kelak.[61]


C.  Ciri-ciri Utama Hukum Islam
            Ciri-ciri khas hukum Islam yang relevan untuk dicatat disini adalah hukum Islam berwatak universal berlaku abadi untuk ummat Islam dimanapun mereka berada tidak terbatas pada ummat Islam di suatu tempat atau Negara pada suatu masa saja. Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani serta memelihara  kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan. Pelaksanaannya dalam praktik digerakkan oleh iman (akidah) dan akhlak ummat manusia.[62]
            Sealin itu hukum Islam juga memiliki ciri-ciri, anata lain :
1.    Hukum Islam adalah bagian dan bersumber dari ajaran agama Islam.
2.    Hukum Islam mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dicerai-pisahkan dengan iman dan dan kesusilaan atau akhlaq Islam.
3.    Hukum Islam mempunyai istilah kunci, yaitu (a) syari’ah, (b) fikih. Syari’ah bersumber dari wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad SAW dan fiqih adalah hasil pemahaman manusia bersumber dari nash-nash yang bersifat umum.
4.    Hukum Islam terdiri atas dua bidang utama, yaitu (1) hukum ibadah, dan (2) hukum mu’amalah dalam arti yang luas. Hukum ibadah bersifat tertutup karena telah sempurna dan hukum mu’amalah dalam arti luas bersifat terbuka untuk dikembangkan oleh manusia yang memenuhi syarat untuk itu dari masa ke masa.
5.    Hukum Islam mempunyai struktur yang berlapis-lapis seperti dalam bentuk bagan tangga bertingkat. Dalil Al-Qur’an yang menjadi hukum mendasar dan mendasari sunnah Nabi Muhammad SAW dan lapisan-lapisan seterusnya ke bawah.
6.    Hukum Islam mendahulukan kewajiban dari hak, amal dari pahala.
7.    Hukum Islam dapat dibagi menjadi: (1) hukum taklifi atau hukum taklif, yaitu Al-Ahkam Al-Khamsah yang terdiri atas lima kaidah jenis hukum, lima penggolongan hukum, yaitu jaiz, sunnah, makruh, wajib dan haram, dan (2) hukum wadh’i, yaitu hukum yang mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya hubungan hukum.[63]

D.  Perubahan Sosial dan Hukum Islam

            Perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan, yang tumbuh dan berkembangnya saling pengaruh dan mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya.[64] Menurut Zanden perubahan sosial pada dasarnya adalah perubahan-perubahan mendasar  dalam pola budaya, struktur dan perilaku sosial sepanjang tahun.[65] Perubahan sosial juga dapat terjadi dikarenakan bergesernya nilai-nilai yang telah lama ada di masyarakat menjadi sesuatu yang tidak dipakai lagi dan disesuaikan dengan kondisional masyarakat. Sementara hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam. Sebagai sistem hukum ia mempunyai beberapa istilah kunci yang perlu dijelaskan lebih dahulu, sebab kadangkala membingungkan jika tidak diketahui persis maknanya. Yang dimaksud adalah istilah-istilah (1) hukum, (2) hukum dan ahkam, (3) syari’ah atau syari’at, (4) fiqih atau fiqh dan beberapa kata lain yang berkaitan dengan istilah-istilah tersebut.[66]
            Istilah adaptabilitas, segera berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial. Perubahan sosial disini jelas bukan merupakan istilah teknis yang “tranformasi sosial” istilah ini lebih diperguanakan dalam pengertian umum untuk menandai bahwa perubahan dalam persoalan itu telah terjadi dalam rangka merespon kebutuhan-kebutuhan sosial.[67]
            Kebutuhan-kebutuhan sosial yang berhubungan dengan hukum misalnya, sangat terkait dengan dua aspek kerja hukum dalam hubungannya dengan perubahan sosial :
1.    Hukum sebagai sarana kontrol sosial: sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang atau masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan harapan hukum yang sebenarnya.
2.    Hukum sebagai sarana kontrol engineering : penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib hukum atau keadaan masyarakat yang sesuai dengan cita-cita dan perubahan yang diinginkan.[68]
            Suatu perubahan dapat diketahui jika ada sebuah penelitian dari susunan kehidupan masyarakat pada suatu waktu dengan kehidupan masyarakat pada masa lampau. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, lapisan-lapisan dalam masyarakat dan sebagainya. Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Dapat dikatakan kalau konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga gagasan: (1) perbedaan, (2) pada waktu berbeda, dan (3) diantara keadaan system sosial yang sama.[69]
            Sebagai suatu pedoman, maka dapat dirumuskan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perikelakuan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.[70] Hubungan teori hukum dan perubahan sosial merupakan salah satu problem dasar bagi filsafat-filsafat hukum. Hukum yang karena memiliki hubungan dengan hukum-hukum fisik yang diasumsikan harus tidak berubah itu menghadapi tantangan perubahan sosial yang menuntut kemampuan adaptasi dirinya. Seringkali benturan perubahan sosial itu amat besar sehingga mempengaruhi konsep-konsep dan lembaga-lembaga hukum, yang karenanya menimbulkan kebutuhan akan filsafat hukum Islam.
            Argumen bahwa konsep hukum Islam adalah absolute dan otoriter yang karenanya abadi, dikembangkan dari dua sudut pandang. Pertama mengenai sumber hukum Islam adalah kehendak Tuhan, yang mutlak dan tidak bisa berubah. Jadi hal ini pendekatan ini lebih mendekati problem konsep hukum dalam kaitan perbedaan antara akal dan wahyu. Yaitu: (1) hukum dan teologi, (2) hukum dan epistemology. Sudut pandang kedua berasal dari difinisi hukum Islam, bahwa hukum Islam tidak dapat diidintifikasi sebagai system aturan-aturan yang bersifat etis atau moral. Jadi hal ini membicarakan kaitan perbedaan antara hukum dan moralitas.
            Argumen-argumen yang dikemukakan oleh para pendukung keabadian Islam diringkaskan dalam tiga pernyataan umum :
1.    Hukum Islam adalah abadi karena konsep hukum yang bersifat otoriter, ilahi dan absolute dalam Islam tidak memperoleh perubahan dalam konsep-konsep dan institusi-institusi hukum. Sebagai konsekuwensi logis dari konsep ini, maka sanksi yang diberikannya bersifat ilahiyah yang karenanya tidak bisa berubah.
2.    Hukum Islam adalah abadi karena sifat asal dan perkembangannya dalam priode pembentukannya menjauhkannya dari institusi-institusi hukum dan perubahan sosial, pengadilan-pengadilan dan Negara.
3.    Hukum Islam adalah abadi karena ia tidak mengembangkan metodologi perubahan hukum yang memadai.[71]
            Dalam literature hukum Islam kontemporer, kata “pembaruan” silih berganti dipergunakan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekontruksi, rekontruksi, tarjid, islah dan tajdid. Diantara kata-kata itu yang paling banyak digunakan adalah kata-kata islah, reformasi, dan tajdid. Islah dapat diartikan dengan perbaikan atau memperbaiki, reformasi berarti membentuk atau menyusun kembali, tajdid  mengandung arti membangun kembali, menghidupkan kembali, menyususn kembali atau memperbaikinya agar dapat dipergunakan sebagaimana yang diharapkan.[72]
            Masyarakat senantiasa mengalami perubahan, dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, social ekonomi dan lainnya.  Menurut para ahli linguistic dan sematik, bahasa akan mengalami perubahan sehingga diperlukan usaha atau ijtihad. Tentu kondisi suatu masyarakat akan berpengaruh terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti. Namun, ini berarti bahwa hukum tidak akan berubah begitu saja, tanpa memperhatikan norma yang terdapat dalam sumber utama hukum islam yaitu Al-Quran dan Sunnah. Sejarah mencatat bahwa ijtihad telah dilaksanakan dari masa ke masa.[73]
            Pendekatan secara historis, untuk memahami sifat dasar hukum Islam telah menyatakan hal-hal sebagai berikut, sebagai ciri khas hukum Islam :
1.    Sifat idealistik
2.    Religious
3.    Kekakuan
4.    Sifat kausistik
            Pada sisi yang lain dijumpai perubahan sosial terhadap hukum islam itu adalah :
1.    Ijtihad, ( Intiqa’I dan Insya’I )
            Pembaruan hukum Islam telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, berproses dengan kondisi dan situasi serta dengan tuntutan zaman. Hal ini disebabkan oleh karena norma-norma yang terkandung dalam kitab-kitab fiqh sudah tidak mampu lagi memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang pada masa kitab-kitab fiqh itu ditulis oleh para fuqaha, dimana masalah baru yang berkembang saat ini belum terjadi.
            Menurut para pakar hukum Islam di Indonesia, pembaruan atau perubahan hukum Islam terjadi, oleh beberapa faktor :
1.      Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab fiqh tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat akan hukum yang baru sangat mendesak untuk diterapkan.
2.      Pengaruh glonalisasi ekonomi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya.
3.      Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum Nasioanal.
4.      Pengaruh pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid tingkat Nasioanal dan Internasioanal.
            Perubahan ini sejalan dengan teori Qaul Qadim dan Qaul Jadid yang dikemukakan oleh Imam Syafi’I, bahwa hukum juga dapat berubah, karena perubahannya dalil hukum yang ditetapkan pada peristiwa tertentu dalam melaksanakan Maqasyidus syari’ah. Perubahan hukum perlu dilaksanakan secara terus menerus karena hasil ijtihad selalu bersifat relative, itulah sebabnya jawaban terhadap masalah baru senantiasa harus bersifat baru pula, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Al-Quran dan Sunnah.[74]
            Menurut Yusuf Al-Qardhawi ada dua metode yang tepat dan cocok digunakan untuk dilaksanakan dalam menghadapi era globalisasi saat ini yaitu :
a.    Ijtihad Intiqa’I,  ialah meneliti ulang hasil ijtihad para ulama dahulu dan secara komprehensif membandingkan dan mengambil pendapat yang kuat sesuai dengan kriteria dan kaidah tarjih dan alat pengukurnya. Alat-alat pengukur pentarjihan selain yang telah kita tetapkan, yakni dalil yang kuat, juga pendapat itu :
1.        sesuai dengan jaman diperlakukannya.
2.        sesuai dengan arti rahmatan li al-’alamin.
3.        sesuai dengan prinsip taisir (kemudahan).
4.        sesuai dengan kemaslahatan.
b.    Ijtihad Insya’I, yakni mengambil konklusi pendapat baru dalam persoalan baru yang belum pernah dikemukakan oleh mujtahid lain. Seperti dalam menghadapi masalah pentingnya penggunaan foto sebagai jati diri. Ada yang menganggap foto itu gambar. Padahal, ada Hadits yang melarang orang menggambar. Maka, ada pendapat baru bahwa foto itu bukan gambar yang dilarang. Karena Nabi melarang gambar membuat bandingan makhluk Allah. Sedang foto adalah bayangan refleksi seperti dalam kaca, dan bayangan itu dengan alat modern direfleksikan dalam kertas. Di Qatar, foto itu disebut ‘aks (bayangan). Tukang foto disebut ’akkas. Seperti itu pendapat Syeikh Muh. Bakhit Al Mu’thi. Jadi, dalam menghadapi masalah kontemporer, kita memang harus berpikir dan melakukan penelitian dan percobaan awal sebagai realisasi ijtihad.[75]
            Sehubungan dengan metode ijtihad insya’i ini agar pelaksanaannya efektif dan menghasilkan suatu hokum yang dapat menyelesaikan suatu masalah maka perlu ditegakan ijtihad kolektif (jama’i) karena adanya tutuntan jaman , masalah-masalah terkait dan perelisihan bebagai mazhab. Istihad jama’I memiliki urgensi yang sangat tinggi dalam pembaharuan hokum islam yang di perlukan oleh umat islam pada abad modern ini. Adapun urgensi diantaranya adalah :
1).  Menerapkan prinsip syura
2). Lebih seksama dan akurat karena bisa saling memberi, melengkapi, bekerjasama antar ulama mujhahid dan para pakar dari berbagai disiplin ilmu
3).  Dapat mengerti posisi ijma’ dalam arti mampu menggantikan kedudukan system tasyri’ yang untuk saat ini tidak lagi dapat diterapkan karena alasan tidak berfungsinya ijma’ dan ijtihad dalam waktu yang bersamaan, dalam keadaan ini ijtihad jamai akan mengembalikan fitalitas dalam potensi fiqih untuk menghadapi segala kesulitan yang dihadapi.
4).   Mengatur ijtihad dan menghindari kebuntuannya.
5).  Melindungi ijtihad dari berbagai ancaman yaitu ancaman dari orang-orang yang menjual agama, penerbitan buku-buku dengan fatwa dusta, mendekatkan masyarakat kepada orang-orang durjana dan mengabdi pada musuh-musuh islam.
6). Merupakan solusi bagi permasalahan baru, dimana sekarang masyarakat hidup dalam suasana yang tidak jelas arahnya, banyak permasalahan fenomena yang timbul dan belum pernah terjadi sebelumnya sebagai solusinya perlu dilakukan ijtihad.
7).  Merupakan jalan untuk menyatukan umat, sebagaimana diketahui bahwa umat islam sangat mendambakan terciptanya kesamaan persepsi dan kesatuan cara pandang memecahkan segala masalah yang dihadapinya.
8)    Mewujudkan sikap saling melengkapi antar berbagai pendapat para ahli dalam mengambil suatu pendapat hukum.[76]

E.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Masyarakat Terkait Dengan Hukum Islam
            Gagasan kritis tentang seputar hak-hak asasi, antara lain hak untuk mengutarakan pendapat dan gagasan, secara kebetulan telah mempertanyakan untuk apa hukum itu dibuat. Karena hukum bagi perspektif kritis hak-hak asasi merupakan bentuk kekangan terhadap kebebasan manusia. Sementara kekangan tersebut meskipun sedikit menuntut adanya alasan/pembenaran yang kuat.
            Roscoe Pound mengatakan sedikitnya terdapat 12 konsepsi hukum dan masing-masing mempunyai arti yang berbeda-beda. Di antara ke-12 (Dua Belas) konsepsi hukum tersebut antara lain ada yang mengatakan bahwa hukum adalah tradisi dari kebiasaan lama yang telah disepakati oleh para dewa, karena ia dianggap sebagai penunjuk jalan manusia. Hukum juga diartikan sebagai refleksi dari kebijakan/kepentingan dari penguasa. Di pihak lain, hukum juga dipahami sebagai kaidah-kaidah yang diturunkan oleh Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia.[77]
            Konsepsi hukum di atas, masing-masing mempunyai tekanan sendiri-sendiri. Tekanan pertama didasarkan pada tradisi dari kebiasaan lama. Sementara model kedua tekanan hukumnya tergantung kepada upaya-upaya kepentingan/kebijakan dari penguasa. Sedangkan model yang terakhir semangat hukumnya berseiringan dengan situasi dan kondisi perkembangan masyarakat.
            Sepertinya hukum Islam yang diturukan Allah melalui wahyunya, secara substansial memiliki kedekatan dengan konsepsi yang terakhir. Dalam aplikasinya, ia memiliki fungsi ganda. Pertama : fungsi “basyira”, yaitu fungsi penggembira, pemotivasi dan pendorong. Kedua : fungsi “nadzira”, yaitu fungsi peringatan dan ancaman. Dengan demikian pada langkah awal bisa jadi manusia merasakan adanya kekangan-kekangan atas peringatan dan ikatan yang terdapat dalam wahyu-Nya. Namun karena fungsi basyira, pada langkah berikutnya manusia akan menyadari akan pentingnya peringatan-peringatan, ikatan-ikatan yang disertai dengan berbagai ancaman Tuhan. Kesadaran ini muncul karena atas fungsi basyira, sebagai fungsi penggembira, pemotivasi yang dibarengi dengan janji-janji Tuhan.
            Disanalah akan terjadi proses transaksional suat hukum, yaitu antara hukum Tuhan yang bercorak ancaman dan peringatan dengan hukum Tuhan yang bercorak balasan dan pahala. Transaksi itu pada gilirannya akan melahirkan kesadaran manusia untuk menggabungkan dua corak pesan ayat Tuhan tersebut. Transaksi tersebut bukan berarti membuka kemungkinan untuk melakukan perubahan-perubahan teks yang telah tersususun secara mutlak. Tetapi transakssi itu bisa dilihat dari semangat teks wahyu yang adaptif, komunikatif, dialogis dan kompromistis terhadap tuntunan perkembangan sosial budayanya. Hal demikian bisa diamati lebih dalam pada peristiwa asbabul nuzul teks tersebut, yang selalu terkait dengan fenomena pra kehidupan masyarakat Arab dan Arab ketika itu.
            Inilah sebabnya, hukum Islam dalam kontek kesejarahan tidak pernah menampakan sifat yang kaku.fungsi pertama selalu berinteraksi dengan fungsi kedua.dengan kata lain manusia mengalami tekanan-tekanan, ikatan-ikatan akan suatu hukum, pada saat yang sama mereka menyadari bahwa di balik semua itu semua terdapat sejumlah janji-janji Tuhan yang lain
            Sama saja artinya manusia dihadapkan pada dua pilihannya,tanpa harus memaksimalkan kehendaknya.di satu pihak hukum islam memiliki sifatnya yang doktriner dan normatif, namun di pihak lain ia menerima perubahan-perubahan, dan dalam aplikasinya selalu ada pintu ijtihad yang memberi peluang untuk menyesuaikan dengan realitasempirikna.oleh karenanya tidak heran jika dalam kaidah-kaidah fiqhiyah banyak yang besinggungan dengan argumentasi di atas.[78]



[1] Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta : PT Gramedia Widiasarana, 2008), hal. 34
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,  (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1982), hal.  310.
[3]. R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Bandung : Sinar Grfika, 1992), hal. 26
[4]. Iman Jauhari,  Sosiologi Hukum  (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2009),  hal. 128
[5] Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1989),  hal. 56-57.
[6] Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, (Bandung : Pusataka, 1978), hal. 46
[7] Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1989), hal. 11
[8] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 310
[9] Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1980), hal. 10-11

[10] Alvin S. Johnson, Sosiologi Hukum, diterjemahkan oleh Rinaldi Simamora, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 9

[11] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Semarang : Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 332
[12] Zainuddin Ali,  Sosiologi Hukum, ( Jakarta, : Sinar Grafika, 2009), hal. 10
[13] Amri Marzali.  Jurnal:Struktural-Fungsionalisme. Universitas Indonesia, 2006
[14] Atabik Ali, kamus kontemporer arab-indonesia, (Yogyakarta: PP. Krapyak, t.th), Cet.5, hal. 1423.
[15] Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 1982), hal. 31.

[16] Purnadi Purbacakara, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung : Penerbit Alumni, 1979)    hal. 14.
[17] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar  Ilmu Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994),  hal. 36.
[18] C.S.T Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1986) cet.7 hal. 82

[19] Eko Sujatmiko, Kamus IPS , (Surakarta: Aksara Sinergi Media, 2014), Cetakan I, hal.129
[20] Yesmil Anwar & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta : PT Gramedia Widiasara Indonesia, 2008). hal. 67
[21] Poloma, M. Margaret, Sosiologi Kontemporer ( terj ), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 183

[22] Satjipto Raharjo,  Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, (Jakarta : Kompas, 2006), hal. 96

[23] Peter Mahmud Marzuki,  Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana., 2005),  hal. 35
[24] Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif  Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo, 1995),  hal. 15.

[25] Ranuhandoko, Terminologi Hukum, (Jakarta : Grafika, 2003), hal.  419

[26] Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hal. 141-169.

[27] Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, (Jakarta :  Bumi Aksa, 2007), hal. 67

[28] Ibid, hal. 68
[29] Ibid, hal. 68-70
[30] Ibid, hal. 70
[31] Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1980), hal. 4.
[32]Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam. (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1999), hal. 130

[33] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta : Grafindo Persada,1980),  hal. 78


[34] Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah.  Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat (Jakarta : Rajawali Pers, 1982),  hal. 197
[35] M. Solly Lubis, Sistem Nasional, ( Bandung : Mandar Maju, 2002),  hal. 1
[36] Soerjono Soekanto. Pokok-pokok Sosiologi Hukum  (Jakarta : Razawali Grafindo, 2005) , hal. 227
[37] Selo Soermardjan/ Http:// sosionamche. Blogspot. Com.), diakses pada Tanggal :

[38] Syahril Sarbaini, Sosiologi dan Politik. (Bogor : Ghalia Indonesia, 2004), hal. 27.
[39] Tsamotsu Shibutani, Social Process an Introduction to Sosiology, (Berkeley : Universsity of California Press, 1986), hal. 5.
[40] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 63.
[41] Soejono Soekanto, Faktor-faktor Dasar Interaksi Sosial dan Kepatuhan Pada Hukum-hukum Nasional No. 25, 1994.
[42] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,...hal. 65-66
[43] Syahril Sarbaini, Sosiologi dan Politik, hal. 27-28.
[44] Gilin dan Gilin, Cultural Sosiology, a revision of an introduction of Sosiology, hal. 501.
[45] Kimbali Young, Sosiology of  Study and Culture, (Washington : Education Press, 1994), hal. 71
[46] Satjipto Raharjo,  Penegakan Hukum Progresif(Jakarta: Kompas, 2010).
[47] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Universitas Atmajaya,  2010), hal. 25.
[48]Mahmul Siregar, Modul Perkuliahan Teori Hukum : Teori-Teori Hukum Sociological Jurisprudence. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. 2008.

[49]Sumarno, Fungsi Hukum sebagai Social control dan Social enginering, http://gerakanmahasiswakini.blogspot.com/2011/12/fungsi-hukum-sebagai-control-social-dan.html, diakses pada Tanggal 01 Desember 2014.
[50] Thomas Hidya Tjaya, Pustaka Filsafat Humanisme dan Skolatisme, Sebuah Debat, (Yogyakrata : Kanisius, 2004), hal. 53-54

[51] Nommy Horas Thombang Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Ke-2, (Jakarta : Erlangga, 2004), hal. 125
[52] Soedjono Dirdjosisworo, Sosiologi Hukum, (Jakarta : Rajawali, 1983), hal. 15
[53] Selo Soemardjan, Sifat-Sifat Panutan di Dalam Pandangan Masyarakat Indonesia. Masalah-masalah Ekonomi dan Faktor-faktor IPOLSOS, (Jakarta : LEKNAS, MIPI, 1965), hal. 26

[54] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Figh Islam,  (Bandung : Alma’arif, 1986), hal. 105
[55] Ibid, hal. 107
[56] Ibid, hal. 109
[57] Mohammad Daud Ali,  Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001),  hal. 54

[58] Ismail Muhammad Syah, dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Karsa, 1992),  hal. 75


[59] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam................., hal. 54
[60] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam................., hal. 54
[61] Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Permadani 2004),  hal. 23

[62] T.M Hasbi Ash Shieddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta : Tintamas, 1975), hal. 156-212.


[63] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal. 22
[64] Ardial, Sosiologi Hukum, (Medan : 2010), hal. 108
[65] Mudjia Rahardjo, “Perubahan Sosial di Mintakat Panglaju Bandung Malang,” Jurnal STAIN Malang, Edisi No. 5, 1998, hal. 75
[66] Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan dan Tata Hukum  Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 42
[67] Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, (Surabaya : Al-Ikhlas,1995), hal. 44.
[68] Sodjono Dirdjosiswono, Sosiologi Hukum, (Jakarta : CV. Rajawali, 1983), hal. 76-77.

[69] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal. 3.
[70] Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal.100-101.

[71] Muhammad Khalid Mas’ud,  Filsafat  Hukum  Islam  dan  Perubahan  Sosial
hal.  27
[72] Abdul Manan,  Aspek-aspek  Pengubah  Hukum,  ( Jakarta : Kencana, 2006),
 hal. 218.

[73] Miftahul Huda,  Filsafat Hukum Islam : Menggali Hakikat Sumber dan Tujuan Hukum Islam, (Yogyakarta : STAIN Ponorogo Press, 2006), hal. 139-140.

[74] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, hal. 226-227

[75] Asjmuni Abdurrachman, “ Islam Autentik Menjawab Tantangan Zaman (2)”, artikel ini diakses pada Tanggal 01 Desember 2014 dari http//http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id/html.

[76] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, hal.  243-245.
[77]Roscoe Pound, An Introduction to the Philosopy of Law, terj. M. Radjab, (Pengantar Filsafat Hukum), (Jakarta : Bhratara, 1989), hal. 28-30
[78]Roibin, Sosiologi Hukum  Islam, (Malang : UIN Malang Press, 2008), hal. 44-46

6 komentar:

  1. mantap...... makasih,,,, bisa buat masukan dalam diskusi sosiologi hukum islam

    BalasHapus
  2. Roulette | Casino site - Lucky Club
    Roulette is the game of chance. There is a lot of different variations to the classic game but this variation can luckyclub.live be played in different leagues. Roulette is

    BalasHapus
  3. Casino Tycoon, Golden Nugget Hotel Casino and Spa - Mapyro
    Find 남양주 출장샵 the cheapest and quickest way to get from Casino Tycoon, Golden Nugget Hotel 광주광역 출장마사지 Casino and Spa to Golden 문경 출장샵 Nugget Hotel Casino and Spa in 나주 출장마사지 Las 대구광역 출장샵 Vegas.

    BalasHapus